Rabu, 13 Mei 2020

(HALTE SERIES-SATU): Senin, Lelaki Pelukis, dan Gadis di Halte Seberang Jalan


Siapa yang tak mengenal Senin?, hari tersibuk dan terpadat yang dirasakan bagi banyak orang dengan berbagai mobilitasnya. Mulai dari bekerja kantoran, siswa-siswi yang menuntut ilmu, bahkan aktivis kampus yang memulai rapat organisasi serta aksi demonstrasi yang sifatnya turun ke jalan. Sama, pagi terasa cepat pergi bagi Dirga, karena mencoba berusaha mengejar bus terakhir yang melewati halte tempat Ia biasa menunggu bus, benar saja tak Ia temui lagi warga kantoran, para aktivis, bahkan tidak ada lagi  siswa SMA seumurannya menunggu di halte itu, sambil terseok-seok mengejar ketertinggalannya.

“Woi, tunggu bang,” teriaknya dari kejauhan. Kernet bus terakhir itu tak mendengar dan fokus pada halte yang kosong. Bus terus berjalan tanpa menghiraukan Dirga yang berlari melawan keterlambatannya.

 “Sial,”ujarnya. Saat melihat bus berangkat tanpa mengikutsertakan dirinya. Benar saja, Pagi berlalu tanpa lalu lalang yang biasanya Dirga nikmati di halte itu, halte yang bersebrangan dengan SMA Tunas Mandiri, SMA yang mencetak alumni berkelas dan tentunya punya kualitas. Ia pandangi dari kejauhan tak ada siapa-siapa di sana, karena lonceng masuk telah berbunyi sekitar 30 menit yang lalu. Pukul menunjukkan waktu setengah delapan. Dirga terlambat mengejar paginya, sia-sia rasanya Ia perjuangkan.

Pagi itu, Dirga temui seorang lelaki tua dengan jaket denim dan baret krem. Di hadapan lelaki itu, sudah dipasangnya kanvas, di samping tempat duduknya berbagai palet, kuas, cat air dan minyak disusunnya dengan rapi di kursi halte yang sepi itu, pelukis jalanan pikir Dirga.

Ia coba mengambil posisi duduk di sebelah bapak pelukis jalanan yang membuat Dirga penasaran. Udara pagi, Senin yang Dirga rasakan berbeda dengan keterlambatan-keterlambatan sebelumnya yang Ia lakukan, langit mendung dan siap-siap hujan akan datang.

“Kamu ga sekolah?, orang tua kamu susah-susah cari uang tapi justru melihat anaknya malas-malasan, dan memilih bolos hanya untuk sekadar singgah di pinggiran halte kawasan sekolah elit, miris,” ujar lelaki pelukis itu sambil membenarkan peralatan melukisnya.

Dirga hanya diam, namun mendekatkan dirinya perlahan ke arah lelaki tua itu dengan wajahnya yang menantang, dan alis yang mengangkat sebelah kiri saja, pertanda Dirga heran dengan statement yang baru keluar dari mulut seseorang yang belum mengenalnya namun sudah berani menilainya.

“ Apa yang terjadi hari ini, bagi saya adalah takdir pak, dan apa yang bapak nyatakan itu memberi sebuah fakta bahwa itu juga takdir, bila sebenarnya Saya ga punya orang tua lagi pak. Saya anak panti yang ga jauh dari sini, Cahaya Ibu. Pasti bapak tahukan? Letaknya di belakang lorong hijau yang mengarah ke rusun. Takdir jugalah yang membuat Saya yang dari kecil tidak pernah diajarkan untuk meminta-minta, kalo mau sesuatu ya berusaha, perjuangkan. Sama seperti pagi ini, Saya ingin ke sekolah, sudah saya perjuangkan. Namun justru terlambat, dan justru bertemu dengan lelaki tua yang hebat menilai orang lain tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi,” ucap Dirga yang melihat ke arah depan jalan tanpa bertatapan dengan lelaki itu, mereka berkomunikasi tanpa saling melihat ekspresi satu sama lain, pendekatan yang kurang berkesan bagi Dirga.

Lelaki itu tak menggubris, dan menunjukkan senyum remeh pada Dirga. Dirga menatapnya dan dibalas dengan tatapan tajam dari lelaki itu, siratan tatapan itu tak berarti bagi seorang Dirga.
Hujan datang mengguyur tiap permukaan jalan, bau petrichor hadir tanpa permisi. Dirga harus rela dijebak oleh riuh sang hujan ditemani lelaki pelukis tua yang bersikap dingin. Seketika kanvas milik lelaki pelukis itu mulai terisi dengan goresan-goresan cat miliknya. Mawar merah dengan ukuran memenuhi kanvas putihnya dengan ukuran yang cukup besar, berhasil mencuri perhatian dirga. Bisa-bisanya lelaki tua ini melukis di pinggir halte saat hujan datang, pikir Dirga.

Come, and i heard your whisper. Enzy!. Monday. 4th of April 1999 . Kalimat itu tertulis di bagian bawah sudut kanan mawar merah milik lelaki itu. Seketika lelaki itu menyayat sedikit kulit di area telunjuknya hingga mengeluarkan darah. Aneh, tiba-tiba mata Dirga terbelalak melihat tindakan lelaki tua itu yang memberikan sentuhan warna merah darah miliknya ke lukisan mawar merah itu.
Dirga tak bersuara namun tetap memperhatikan tiap gerak-geriknya. Hujan berhenti tepat pukul 12 siang, lama sekali Dirga menunggu di halte yang luas namun terasa sempit karena ditemani lelaki tua yang sok tahu dan aneh.

“ KRING.... ,” lonceng SMA Tunas Mandiri berbunyi, pertanda memang waktu belajar berakhir. Lelaki itu pun pergi meninggalkan Dirga sendirian, namun sebelum pergi Ia menaburkan mawar merah di sekitar jalan, beberapa kelopak saja tanpa tangkai. Sungguh perlakuan yang tak jelas pikir Dirga.





Satu per satu murid Sma Tunas mandiri pulang ke tujuan mereka. Mungkin bisa ke rumah, bimbingan belajar, atau sekadar menghabiskan uang ke mall. Entahlah, yang jelas Dirga harus kembali ke panti untuk membantu mengurus adik-adiknya. Saat Dirga berjalan menuju kediamannya, Ia menoleh ke seberang jalan, seorang gadis duduk sendirian, dengan gestur melambaikan tangan pada karibnya sebagai tanda pertemuan berakhir, gadis itu memiliki rambut panjang menyentuh bahu, wajah putih, hidung mancung, bibir tipis, dengan kacamata yang menambah manis wajahnya, serta menggunakan kardigan hijau toska yang menutupi seragam sekolahnya, SMA Tunas Mandiri, seolah tak asing Dirga melihatnya.

Gadis itu berhasil mencuri perhatian Dirga. Dirga pasati gadis itu dengan rasa penasaran, saat menunggu bus yang lewat di halte seberang jalan. Gadis itu menembak pandangan ke arah Dirga, sontak Dirga melihat ke lain arah. Lebih tepatnya malu dibuatnya. Yang pada akhirnya membawa Dirga menuju kediamannya dengan senyum sumringah miliknya. Lagi-lagi, ini adalah takdir yang mengiringnya pada pertemuan lelaki pelukis tua yang dingin dan gadis manis Sma Tunas Mandiri yang sendirian di halte seberang jalan.