Siapa yang tak mengenal Senin?, hari tersibuk dan terpadat yang dirasakan bagi
banyak orang dengan berbagai mobilitasnya. Mulai dari bekerja kantoran,
siswa-siswi yang menuntut ilmu, bahkan aktivis kampus yang memulai rapat
organisasi serta aksi demonstrasi yang sifatnya turun ke jalan. Sama, pagi
terasa cepat pergi bagi Dirga, karena mencoba berusaha mengejar bus terakhir
yang melewati halte tempat Ia biasa menunggu bus, benar saja tak Ia temui lagi
warga kantoran, para aktivis, bahkan tidak ada lagi siswa SMA seumurannya menunggu di halte itu, sambil
terseok-seok mengejar ketertinggalannya.
“Woi, tunggu bang,” teriaknya dari kejauhan. Kernet bus terakhir itu tak
mendengar dan fokus pada halte yang kosong. Bus terus berjalan tanpa
menghiraukan Dirga yang berlari melawan keterlambatannya.
“Sial,”ujarnya. Saat melihat bus
berangkat tanpa mengikutsertakan dirinya. Benar saja, Pagi berlalu tanpa lalu
lalang yang biasanya Dirga nikmati di halte itu, halte yang bersebrangan dengan
SMA Tunas Mandiri, SMA yang mencetak alumni berkelas dan tentunya punya
kualitas. Ia pandangi dari kejauhan tak ada siapa-siapa di sana, karena lonceng
masuk telah berbunyi sekitar 30 menit yang lalu. Pukul menunjukkan waktu
setengah delapan. Dirga terlambat mengejar paginya, sia-sia rasanya Ia
perjuangkan.
Pagi itu, Dirga temui seorang lelaki tua dengan jaket denim dan baret krem.
Di hadapan lelaki itu, sudah dipasangnya kanvas, di samping tempat duduknya berbagai
palet, kuas, cat air dan minyak disusunnya dengan rapi di kursi halte yang sepi
itu, pelukis jalanan pikir Dirga.
Ia coba mengambil posisi duduk di sebelah bapak pelukis jalanan yang
membuat Dirga penasaran. Udara pagi, Senin yang Dirga rasakan berbeda dengan
keterlambatan-keterlambatan sebelumnya yang Ia lakukan, langit mendung dan
siap-siap hujan akan datang.
“Kamu ga sekolah?, orang tua kamu susah-susah cari uang tapi justru melihat
anaknya malas-malasan, dan memilih bolos hanya untuk sekadar singgah di
pinggiran halte kawasan sekolah elit, miris,” ujar lelaki pelukis itu sambil
membenarkan peralatan melukisnya.
Dirga hanya diam, namun mendekatkan dirinya perlahan ke arah lelaki tua itu
dengan wajahnya yang menantang, dan alis yang mengangkat sebelah kiri saja,
pertanda Dirga heran dengan statement yang baru keluar dari mulut seseorang
yang belum mengenalnya namun sudah berani menilainya.
“ Apa yang terjadi hari ini, bagi saya adalah takdir pak, dan apa yang
bapak nyatakan itu memberi sebuah fakta bahwa itu juga takdir, bila sebenarnya Saya
ga punya orang tua lagi pak. Saya anak panti yang ga jauh dari sini, Cahaya Ibu.
Pasti bapak tahukan? Letaknya di belakang lorong hijau yang mengarah ke rusun. Takdir
jugalah yang membuat Saya yang dari kecil tidak pernah diajarkan untuk
meminta-minta, kalo mau sesuatu ya berusaha, perjuangkan. Sama seperti pagi
ini, Saya ingin ke sekolah, sudah saya perjuangkan. Namun justru terlambat, dan
justru bertemu dengan lelaki tua yang hebat menilai orang lain tanpa tahu apa
yang sebenarnya terjadi,” ucap Dirga yang melihat ke arah depan jalan tanpa
bertatapan dengan lelaki itu, mereka berkomunikasi tanpa saling melihat
ekspresi satu sama lain, pendekatan yang kurang berkesan bagi Dirga.
Lelaki itu tak menggubris, dan menunjukkan senyum remeh pada Dirga. Dirga
menatapnya dan dibalas dengan tatapan tajam dari lelaki itu, siratan tatapan
itu tak berarti bagi seorang Dirga.
Hujan datang mengguyur tiap permukaan jalan, bau petrichor hadir
tanpa permisi. Dirga harus rela dijebak oleh riuh sang hujan ditemani lelaki
pelukis tua yang bersikap dingin. Seketika kanvas milik lelaki pelukis itu
mulai terisi dengan goresan-goresan cat miliknya. Mawar merah dengan ukuran
memenuhi kanvas putihnya dengan ukuran yang cukup besar, berhasil mencuri
perhatian dirga. Bisa-bisanya lelaki tua ini melukis di pinggir halte saat
hujan datang, pikir Dirga.
Come, and i heard your whisper. Enzy!. Monday. 4th
of April 1999 . Kalimat
itu tertulis di bagian bawah sudut kanan mawar merah milik lelaki itu. Seketika
lelaki itu menyayat sedikit kulit di area telunjuknya hingga mengeluarkan
darah. Aneh, tiba-tiba mata Dirga terbelalak melihat tindakan lelaki tua itu
yang memberikan sentuhan warna merah darah miliknya ke lukisan mawar merah itu.
Dirga tak bersuara namun tetap memperhatikan tiap gerak-geriknya. Hujan
berhenti tepat pukul 12 siang, lama sekali Dirga menunggu di halte yang luas
namun terasa sempit karena ditemani lelaki tua yang sok tahu dan aneh.
“ KRING.... ,” lonceng SMA Tunas Mandiri berbunyi, pertanda memang waktu
belajar berakhir. Lelaki itu pun pergi meninggalkan Dirga sendirian, namun
sebelum pergi Ia menaburkan mawar merah di sekitar jalan, beberapa kelopak saja
tanpa tangkai. Sungguh perlakuan yang tak jelas pikir Dirga.
Satu per satu murid Sma Tunas mandiri pulang ke tujuan mereka. Mungkin bisa
ke rumah, bimbingan belajar, atau sekadar menghabiskan uang ke mall.
Entahlah, yang jelas Dirga harus kembali ke panti untuk membantu mengurus
adik-adiknya. Saat Dirga berjalan menuju kediamannya, Ia menoleh ke seberang
jalan, seorang gadis duduk sendirian, dengan gestur melambaikan tangan pada
karibnya sebagai tanda pertemuan berakhir, gadis itu memiliki rambut panjang menyentuh
bahu, wajah putih, hidung mancung, bibir tipis, dengan kacamata yang menambah manis wajahnya, serta menggunakan kardigan hijau toska yang
menutupi seragam sekolahnya, SMA Tunas Mandiri, seolah tak asing Dirga
melihatnya.
Gadis itu berhasil mencuri perhatian Dirga. Dirga pasati gadis itu
dengan rasa penasaran, saat menunggu bus yang lewat di halte seberang jalan. Gadis
itu menembak pandangan ke arah Dirga, sontak Dirga melihat ke lain arah. Lebih
tepatnya malu dibuatnya. Yang pada akhirnya membawa Dirga menuju kediamannya
dengan senyum sumringah miliknya. Lagi-lagi, ini adalah takdir yang mengiringnya pada pertemuan lelaki pelukis tua yang dingin dan gadis manis Sma Tunas Mandiri
yang sendirian di halte seberang jalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar