Selasa pagi sungguh cerah terasa,karena langkah kaki Dirga melaju lebih
awal dari hari Senin kemarin, kurang dari jam setengah tujuh Ia sudah berada di
halte SMA Tunas Mandiri B. Di sana terlihat seorang wanita dengan blazzer
hitam berkemeja putih dan dihiasi dasi kecil hitam serta rambut yang dikuncir
kuda, Ia duduk tepat di bangku halte tempat biasa Dirga menunggu. Ia sendirian
dan sepertinya akan menuju kantor, gayanya seperti pegawai bank, yang jelas
halte nampak tak seramai seperti hari-hari biasanya.
Dirga mencoba menoleh ke area sekitarnya, tak Ia temukan lelaki pelukis bersifat
dingin itu hari ini. Syukurlah pikirnya. Dirga pun mengambil posisi duduk di
sebelah wanita kantoran itu, seketika badannya pucat serta perlahan memberikan
gerakan tangan memegang lehernya. Seperti orang masuk angin, atau justru salah
posisi tidur dengan pandangan menuju Dirga,
“ Mbak gapapa?, Mbak sakit?,” ujar Dirga spontan. Respon wanita itu hanya
diam seolah-olah fokus dengan gerakan tangannya ke arah leher sambil menunduk.
Dirga menjadi merasa bersalah dengan sorotnya terhadap wanita itu, Ia pun
mencoba sedikit bergeser dan melihat ke arah lain.
Bus kuning nomor 12 selalu Dirga tumpangi jika Ia tidak terlambat, wanita
itu melambaikan tangan pertanda bus harus berhenti di halte SMA Tunas Mandiri
B. Ia dan wanita itu menaikki bus dengan posisi wanita itu yang masuk terlebih
dahulu lalu disusul oleh Dirga di belakangnya.
Pukul menunjukkan jam 12 siang, Dirga berhenti tepat di SMA Tunas Mandiri
A, benar saja saat itu juga semua siswa-siswa berhamburan keluar gerbang, namun
sedikit sekali anak yang menunggu jemputannya di halte Tunas Mandiri A, tiba-tiba
pemandangan indah memikat pandangan Dirga untuk kedua kalinya, gadis manis yang
Ia temui kemarin kembali datang menuju takdir bertemu dengannya. Gadis itu,
sendirian juga menatap Dirga yang duduk di Halte, perlahan langkah kakinya
membawa Gadis itu ke arah Dirga.
Hari ini, kardigannya berubah menjadi jaket denim berbahan jeans
seperti anak-anak kekinian. Pandangan Dirga tak berhenti, seketika membuatnya
menundukkan kepala karena takjub. “ Permisi, kamu Dirga?,” ujar Gadis itu
memecah keheningan, setelah dia mengambil tempat duduk tepat di sebelah kiri
Dirga, bak adegan film-film remaja yang setiap jedanya teriasi momen romansa.
“Saya? Iya, Saya Dirga Utama,Saya siswa SMA Dharma Bakhti Mbak. Tapi kita
kan belum kenalan masa Mbak sudah tahu nama Saya?” dengan sentuhan tangan ke
lehernya, Dirga dan pandangannya adalah simbol yang menjadi pertanda bahwa Ia
tak sanggup menatap mata gadis itu, sontak Dirga dengan nada heran namun senang
dibuatnya oleh gadis itu, karena mengetahui namanya.
“ Hmm, kamu ga inget Saya? Hmmm maksud Saya, Saya tahu nama kamu dari Pak Jehrin.
Oh ya kalau begitu perkenalkan Saya Ervinia Sahraniza, panggil saja Ervi, Saya
siswa SMA Tunas Mandiri ini, dan tahun ini merupakan tahun terakhir saya
belajar disini, salam kenal,” balasnya dengan nada yang jauh lebih mengherankan
dari Dirga sebelumnya, dengan senyum ragunya karena di ujung matanya tak ada
lipatan pertanda seolah-olah menyembunyikan sesuatu dari balik senyumnya, tapi
Dirga yakin Ervi adalah anak baik-baik.
“ Salam kenal juga Ervi, tapi Saya tidak mengenal siapa yang kamu maksud
Pak Jehrin itu”
Seketika telunjuk Ervi mengarah ke sebrang jalan, halte SMA Tunas Mandiri B.
Lelaki pelukis bersifat sok tahu dan tidak ramah yang Dirga kenal Senin
kemarin, ternyata juga dikenal oleh Ervi. Ingin rasanya Dirga hapus suatu
siklus yang membuatnya harus mengenal lelaki pelukis jalanan itu.
Selang beberapa menit kemudian, bus datang dan terpaksa menghentikan
obrolah Dirga dan Ervi kala itu, ditemani mendung yang menjadi momen yang tepat
untuk segera kembali ke rumah bagi Ervi, dan Panti bagi Dirga.
“ Dir, Aku pulang dulu ya. Hati-hati dir,” ucap Ervi sambil menoleh ke arah
dirga seraya berdiri dari bangku tempat Ia menunggu bus, sembari melangkah
perlahan ke pintu bus yang hampir tertutup itu.
“ Iya vi, Kamu juga. Makasih ya,” Dirga pun berdiri menatap pintu bus yang
telah tertutup, namun Ervi menoleh ke arah jendela karena posisi duduknya
berada di sudut bus.
“Sama-sama Dir,” Seraya berkata dengan nada samar, dan senyum tipis.
Saat itu juga, Dirga merasa seperti menatap bulan di siang hari. Ada
perasaan tak percaya, namun benar adanya terjadi. Do’anya terkabul walau hanya
sebentar, tapi baginya penuh makna. Tak beberapa lama, bus itu pergi melintasi
pandangan Dirga, lelaki pelukis sebrang jalan masih sibuk dengan palet dan
kanvas handalnya. Dirga pun menghampirinya.
“ Pak... ,” ujar Dirga keluh. Sambil menatap goresan kanvas lelaki itu.
Gambar wanita yang sepertinya memiliki keturunan warga negara asing, dengan
seragam Sma Tunas Mandiri. Yang di bawahnya bertuliskan.
I knew you always here, so i was here with you.
Enzy
“ Kenapa? Seneng disapa dan dikenal sama gadis tercantik di SMA Tunas
Mandiri?,” ucap pak Jehrin memotong kalimat Dirga yang sebelumnya sudah bisa Ia
baca.
“ Iya, Saya berterima kasih atas itu pak, hehe. Tapi bukan itu yang Saya
maksud. Saya kan belum pernah mengenalkan siapa diri Saya ke Bapak.,”
“ Tidak perlu terima kasih, sesuai dengan perkataanmu, gadis itu mengenalmu
karena takdir tidak pernah melewatkanmu, ya walaupun lewat perantara bapak.
Soal kenapa bapak tahu namamu, karena kemarin dompetmu ketinggalan di halte,
dan kebetulan gadis itu yang menemukannya setelah kamu pergi. Saat itu, dia
tidak melihat orang di halte, jadi dia memanggil bapak untuk memberitahu
perihal dompetmu, dan dari gerak-gerikmu bapak lihat kamu tertarik dengan gadis
itu, maka dari itu bapak lihat tanda pengenalmu di dompet, dan memperkenalkanmu
dengannya,” setelah sekian banyak penjelasan pak Jehrin, Ia menertawakan Dirga
dengan mengambil sebuah benda, yakni dompet Dirga yang masih berada di tangan
pak Jehrin, dan seketika Ia lempar.
“ Ini, ambil dompetmu! Besok-besok tinggalin aja ya di rumah gadis itu biar
kamu makin sumringah!,” ujar pak Jehrin mengejek Dirga dengan gelak tawanya.
Yang dibalas dengan tangkapan Dirga atas dompetnya itu, dan berakhir dengan
kata ‘terima kasih untuk kedua kalinya’ yang membuat kaki dirga beralih menuju
pantinya. Dan di waktu itu juga, Ia berpikir bahwa, ternyata Pak Jehrin tak
seperti apa yang Dirga pikirkan, Pak
Jehrin adalah orang yang baik dan ramah, walaupun banyak hal yang sulit untuk
ditebak darinya.
“Dasar bapak-bapak,” balas Dirga sambil berlari dengan raut kesal. Namun harus
Dirga akui, bahwa hari ini Ia benar-benar bahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar