Jumat, 14 Agustus 2020

(HALTE SERIES- EMPAT): Kamis, JEHRIN, Memory of ENZY.

 Rabu berlalu begitu saja, menjelma menjadi kamis seketika. Seolah waktu cepat berdesir dan sirna, meninggalkan setiap rekam jejak penuh makna dari berbagai cerita yang tercipta. Rasa penasaran merupakan rekam jejak yang timbul dari nurani dan benak yang bergejolak, sehingga mendorong Dirga untuk mencari tahu, siapa wanita yang dimaksud Pak Jehrin sebagai sosok Enzy itu? Apa kaitannya dengan Panti Asuhan Cahaya Ibu? Dan apa hubungan Pak Jehrin dengan gadis Belanda di lukisan yang Dirga temukan.

“ Jam delapan lewat lima belas menit bung Dirga. Bolos lagi?, hobi sekali sepertinya kamu membolos. Jangan bicara jika itu adalah takdirmu hari ini!, itu benar-benar settingan,” ujar Pak Jehrin sambil melukis di pinggir Halte Tunas Mandiri serta tanpa melihat Dirga, Ia sudah merasakan kehadiran Dirga di dekatnya, walaupun Pak Jehrin sedang fokus dengan palet dan cat miliknya itu.

“ Sengaja,” pungkas Dirga dengan raut wajah datar yang memang sedikit menyimpan kesal kepada lelaki pelukis penuh rahasia ini.

Pak Jehrin diam tanpa tanggapan, hanya sekadar menatap Dirga yang berdiri di depannya dan mencoba membuat suatu bayangan yang membuat pandangannya menjadi lebih gelap. Setelah itu, Ia justru lebih memilih fokus untuk melanjutkan lukisannya kembali.

Sadar akan hal itu, Dirga mencoba mengambil tempat duduk membelakangi Pak Jehrin yang berada di posisi kanannya, lagi dan lagi, masih gadis yang bernama Enzy itu yang dilukisnya. Semakin mengherankan pikir Dirga, “Seperti tidak ada objek lain saja. Mengapa harus human interest?, lebih tepatnya mengapa harus wanita itu lagi?. Lelaki ini memang sudah gila!,” gumam Dirga dalam hatinya.

Benar saja, selalu ada signature dan tulisan-tulisan aneh yang mengakhiri lukisan Pak Jehrin, Dirga yakin itu bukanlah quotes biasa melainkan, layaknya sebuah percakapan singkat antara Pak Jehrin dan wanita yang bernama Enzy itu.

Today is a Beautiful Day, but You can’t see it with me. Enzy

“ Hei, Lelaki pelukis tua!, Kau ini siapa sebenarnya?,  jangan hidup dalam sebuah pengandai-andaian. Aku sudah muak dengan apa yang Kau buat selama ini. Aku sudah tahu bahwa Kau adalah seorang stalker fanatik. Dan gadis yang Kau lukis itu, merupakan anak Panti Asuhan Cahaya Ibu kan? Berentilah melukisnya, Aku tahu dia sudah tidak ada di dunia ini. Ayo, jujurlah!,” sambar Dirga dengan amarah yang membuatnya lelah dengan semua rahasia yang tak jelas ini.

Pak Jehrin memutar badannya secara menyeluruh. Palet yang Ia pegang masih menyisakan warna-warni cat yang melekat, tiba-tiba sengaja Ia jatuhkan. Badannya perlahan mendekat ke arah Dirga, kakinya melangkah pelan-pelan. “ PRAKKK!!,” suara tamparan keras berhasil mendarat ke pipi Dirga, dari tangan Pak Jehrin yang diam dalam tindakannya.

Pak Jehrin mencoba memutar kembali arah badannya, sekarang posisinya membelakangi Dirga kembali. ”Anak muda macam Kamu ini, mudah sekali penasaran, mudah sekali tersulut emosinya. Sampai pada akhirnya hal itu menutupi otak dan logikamu untuk berpikir. Cobalah berpikir dulu sebelum berkata dan bertindak!,” ujar Pak Jehrin dengan nada santainya, namun langsung menusuk ke relung hati Dirga.

“ Saya cuma ingin Bapak Jujur!,” jawab Dirga yang masih tersulut dalam amarahnya.

“ Kamu ingin Saya jujur? Baiklah. Memang, Gadis itu adalah penghuni panti yang sama dengan yang Kamu tempati saat ini. Dan yang harus Kamu tahu Nak, Aku bukanlah penguntit fanatik. Sekarang akan Kuceritakan siapa Dia,” ujar Pak Jehrin seraya menatap ke arah depan, satu tuju bermuara pada kisahnya dengan Enzy 20 tahun yang lalu.

 

Halte SMA Tunas Mandiri, Januari 1999

 JEHRIN POV


Takdir memang sekonyol itu untuk bisa mempertemukanku dengannya, pada hal yang tak disangka-sangka, gadis berdarah Belanda ini sungguh ramah dan baik hati, berbeda dari gadis-gadis belanda  lain yang berada di Sma Tunas Mandiri ini. Beruntung sekali Aku bisa menjadi teman satu angkatannya walaupun berbeda kelas, dan perlu diralat, Ia bukan orang Belanda asli, melainkan campuran darah orang Indonesia dan Belanda. Jiwa kepemimpinan dan kharismanya sungguh memukau, cerdas, lugas, serta pandai bergaul. Hingga saat ini Aku selalu mengaguminya.

 “Henzie Arabella Annemie”, Aku memanggilnya dengan nama Enzy. Nama yang menjadikan identitas negara Belandanya semakin kuat, dengan wajah Ayahnya yang seorang Belanda, menjadikan penampilannya terdominasi akan hal itu. Dan Aku adalah seorang pribumi yang terlahir dari keluarga kaya, serta memiliki darah seniman, menjadikan Aku sebagai pelukis introvert yang hanya memiliki teman ala kadarnya, membatasi ruang sepermainanku kala itu, Aku malas berinteraksi dengan mereka yang katanya ‘hebat’ tapi hanya bisa menindas, yang katanya ‘kaya’ namun sulit untuk berbagi, yang katanya ‘pintar’, justru tak mau memahami arti mencerdaskan kehidupan bangsa bersama, di balik itu semua, tak sedikit juga yang hatinya baik. Lagi-lagi Aku dan otakkulah yang memilih untuk menutup diri dan terus memikirkan hal-hal buruk yang akan terjadi, jika menjalin pertemanan dengan orang lain, sekalipun orang tersebut terlihat ‘baik’.

Pawai kesenian membawa Aku dan Enzy berkolaborasi menjadi tim kreatif seni, Ia dikenal sebagai sosok yang multitasking sehingga  dipercayai kepala sekolah untuk menjadi ketua pelaksana acara kami, di sisi lain tim dekorasi tidak ada yang mau menjadi ketua divisinya, entah angin apa yang membawa pertemuanku dan Enzy di pojok galeri SMA Tunas Mandiri?, setiap jam istirahat selalu Aku habiskan waktu dengan melukis di pojok galeri. Mulai dari melukis pemandangan, hingga objek berupa tumbuhan dan hewan, Aku tak pernah mau menggambar manusia, tidak ada sisi yang menarik dari sisi penggambaran manusia, yang di setiap masa pasti selalu berubah-ubah, lukisan akan tetap diam, membeku, menetapkan ekspresi, yang terkadang berlawanan dengan karakter sebenarnya. Itulah alasan Aku menolak melukis objek berupa manusia.

“ Gambarmu bagus, lebih tepatnya lukisan pemandanganmu, sepertinya itu suasana musim gugur hehe. Kamu sepertinya sudah ahli ya,” suara perempuan terdengar dari bagian belakangku, lembut namun tegas.

“ Terima kasih, tapi kumohon jangan sok tahu. Aku melukis suasana negara tropis. Ini Indonesia,” ujarku tanpa melihat siapa sosok itu, begitu cueknya diriku hingga Aku tak memiliki teman dekat.

Tiba-tiba perempuan yang berbicara di belakangku mengambil posisi berlawanan, yakni menghadap ke arahku yang masih fokus dengan lukisan yang kubuat, dan sibuk dengan kuas yang tertoreh di kanvas milikku. Tatapku heran pada gadis keturunan Belanda, yang berada di Kelas Fisika 2, letakknya bagiku cukup jauh dari kelasku; sosial 3, yang berada di lantai 3 paling atas sudut kanan sekolah kami, bahkan dari kelasku, pemandangan kota bisa Aku nikmati dari sana, sedangkan kelasnya berada di lantai dasar, koridor kedua. Pandanganku pun tertuju pada daftar absensi kelas yang Ia bawa. Sepertinya Ia bertugas membantu guru mengambil daftar absensi tiap kelas, pikirku.

“ Baiklah, maaf jika Aku yang sok tahu tentang lukisan musim gugur milikmu itu hehe. Tapi, Aku membutuhkan bantuanmu dalam menyukseskan pawai kesenian sekolah kita, kuharap engkau mau. Oh ya sebelumnya kenalkan Aku Enzy. Siapa namamu?,” tanpa jeda dan tanpa aba-aba Ia langsung menembak perkataannya padaku, untuk bekerjasama dengannya.

“ Terima kasih atas tawaranmu, tapi Aku tidak bisa, lebih tepatnya Aku tidak mau. Kau cari saja anak yang lain, yakinlah Aku tidak bisa diandalkan, soal namaku itu bukanlah hal yang penting untuk Kau ketahui” tolakku waktu itu, tanpa pikir panjang.

Ia masih memohon dengan wajah yang cukup membuat sebagian orang iba padanya, tapi tidak dengan diriku. Aku kekeh menolaknya.

“ Hmm, terima kasih atas penolakkanmu. Tapi ini atas nama sekolah, kita bisa berkolaborasi disini. Karena Aku menjadi ketua pelaksananya maka,  Aku yakin kamu bisa,” balasnya lagi.

“ Kurasa itu bukanlah urusanku, pergilah dan carilah orang lain serta jalankanlah tanggungjawabmu !,” ucapku yang masih tertuju pada objek yang kulukis.

Seketika, Gadis itu berjalan perlahan melewati Aku yang tetap saja sibuk pada lukisanku,

“ Jika Kau berubah pikiran, Aku tunggu hingga dua hari ke depan. Karena pawai akan diadakan satu bulan lagi. Aku tunggu kontribusimu, terima kasih,” dan itulah kalimat terakhirnya untuk menutup setiap permintaan yang Ia ajukan padaku. Dengan terdengar suara lonceng masuk, maka  jam pelajaran kedua pun dimulai.

Semua anak SMA Tunas Mandiri mengambil posisi untuk keluar kelas, karena waktu menunjukkan pukul dua siang, yang menjadi pertanda bahwa  jam pelajaran akan berakhir, dan tiba-tiba lonceng pun berbunyi, seketika semua siswa pun pulang.

“ Cornelis, besok kita kerja kelompok lagi ya.  Tadi kan ada tugas matematika nanti Aku ajarin, Aku ke rumah kamu aja gapapa,” ujar Enzy pada sahabat sebangkunya itu, Cornelis Tjienna Marianne, Gadis keturunan Belanda namun, ibunya merupakan seorang konglomerat yang berkesempatan belajar ke  negeri kincir angin dan menikah dengan kaum etis Belanda dan pada akhirnya memutuskan untuk  bersekolah di Indonesia, SMA Tunas Mandiri.

Cornelis hanya diam, dengan raut wajah seolah tidak mengenal sahabatnya itu. Ia berjalan tanpa pamit meninggalkan Enzy menuju ke depan gerbang, di sana Ia dijemput oleh supir pribadinya.

“Lis, kenapa? Aku salah apa? Kalau Aku ada salah, Aku minta maaf,” ujar Enzy yang masih mempertanyakan hal janggal yang disembunyikan oleh sahabatnya itu.

“ Mulai hari ini Kamu bukan temanku lagi Zy, semenjak Kamu datang ke rumahku. Kedua orang tuaku tidak menyukai pertemanan kita, khususnya Ayahku. Aku sadar jika kita ini tidak satu kasta, Kamu tidak jelas darimana asal-usul kedua orang tuamu, Kamu cuma anak panti Zy, atau jangan-jangan Kamu ini anak haram?. Entah Zy, yang pasti sedari kecil siklus pertemananku pun sudah diatur oleh orang tuaku. Dan satu hal yang harus kamu pahami, walaupun kita sama-sama keturunan Belanda, tapi kamu tak pantas bersahabat denganku!,”perkataan Cornelis menusuk relung hati terdalam Enzy, seraya masuk ke mobil dengan menutup keras pintunya sebagai tanda pengusiran tidak hormat dari Cornelis, bagai tersambar petir di siang hari bagi Enzy ketika  mendengar kata-kata dari sahabatnya yang sedari 3 tahun lalu Ia kenal.

Airmata Enzy perlahan berjatuhan membasahi kedua pipinya, dengan langkah pelan dan sendirian, Ia menuju Panti Cahaya Ibu, walau Ia coba membasuh air matanya dengan seragam sekolah miliknya, lagi-lagi airmata itu tak mampu Ia bendung. Sesampainya di panti, beruntunglah masih banyak orang  yang menyayanginya, adik-adik Panti memeluknya di depan teras, dan diakhiri dengan dekapan Ibu Panti; Bu Sarah yang telah memiliki anak perempuan satu-satunya, yang ikut memeluk Enzy juga;Triana Ningsih Rahayu.

Rumor tentang Enzy yang tinggal di Panti Asuhan Cahaya Ibu dari bayi, membuatnya dikucilkan oleh sahabat dan golongan orang-orang Belanda yang dulu dekat dengannya. Karena bagi mereka, Enzy merupakan hama yang harus dibasmi, dan tak pantas diberi tempat di sekolah itu. Dan dirasa merusak reputasi sebagian kaum Belanda yang terkenal tajir dan kaya raya, dengan status keturunan yang jelas. Hingga sampai kebanyakan dari mereka berani mengecap Enzy dengan julukan “Anak Haram”

Tanpa ada rangkaian kata, Cornelis yang pada awalnya duduk sebangku dengan Enzy, kini sudah beralih dengan sahabat yang dianggapnya satu kasta dan memiliki bibit serta bobot keturunan yang jelas. Enzy akhirnya ikhlas dan pasrah  untuk duduk sendirian.

Jam istirahat dimulai, waktu tersisa tinggal sehari lagi , Enzy masih menunggu jawabanku yakni sang anak sosial 3 dengan karakter tertutup dan cenderung anti sosial ini, untuk bisa bergabung menjadi tim kreatif seni sekolah. Di sana, Aku melihat Enzy duduk sendirian di taman baca sekolah, namun, yang menjadi keanehan sebelum Ia datang, tempat itu memang menjadi markas perkumpulan siswa  keturunan Belanda untuk sekadar berkumpul dan berbincang, entah apa yang dibicarakan,  yang jelas Aku tidak terlalu memperdulikannya. Hingga suatu waktu saat Enzy mengambil posisi untuk duduk di tempat  yang  tersisa,  yakni di bawah pohon beringin sebelah kanan yang mengarah ke gerbang SMA Tunas Mandiri, Aku mendengar suatu kalimat yaitu“ Lihat, itu Enzy si anak haram sang perusak reputasi!,” ujar salah satu dari mereka.

Dari isu yang beredar, Enzy merupakan anak tentara Belanda, yang pada saat itu dilarang keras untuk mencintai bahkan menikahi seorang pribumi, jika para tentara itu melanggar maka, mereka akan dikeluarkan dari pasukan militer Belanda, dan dianggap sebagai pengkhianat. Namun, karena rasa cinta ayah Enzy terhadap Ibunya, hubungan gelap pun mereka lakukan tanpa terjadinya sebuah pernikahan, hal inilah yang pada akhirnya akan terbuka, walaupun terus mereka sembunyikan. Alhasil ayah Enzy dikeluarkan dan dibunuh oleh pasukan Militer Belanda, karena sudah dicap sebagai pengkhianat, pangkat ayah Enzy dirasa tidak setara dengan status sosial yang dimiliki oleh ibu Enzy, yang berprofesi sebagai pembantu serta tidak mengenyam bangku pendidikan. Setelah kematian ayahnya, Enzy pun terlahir. Ibunya menitipkan Enzy ke Bu Sarah secara baik-baik, Ia berpesan bahwa,  jika Enzy bersama dengannya dia bisa menjamin, bahwa anaknya akan berada dalam kondisi yang  berbahaya dan terlantar. Semenjak saat itu, Ibu Enzy tidak pernah kembali lagi, Ia dikabarkan diculik oleh tentara Belanda sebagai budak sex mereka. Hingga berakhirnya masa kependudukan Jepang,  pun keberadaan ibu Enzy lenyap, karena selama itu Enzy tidak menemukan kepastian kondisi dari Ibunya, bahkan hingga Ia sudah menginjak kelas 12 SMA.

Mendengar hal itu, jujur Aku merasa terhidupkan kembali rasa empati yang kupunya, walau hanya sedikit. Aku jauh lebih beruntung dari Enzy yang kehilangan sosok kedua orang tuanya, bahkan sebelum Ia terlahir, hingga saat ini wajah kedua orang tuanya pun tidak ia ketahui.

“ Ini untukmu minumlah!, dunia ini memang terlalu kejam untuk seseorang yang tegar. Maka, janganlah berhenti berjuang!,” ucapku saat menyodorkan segelas minuman soda kaleng yang barusan kubeli dari kantin Tunas Mandiri, dan menjadi satu-satunya kantin yang berhasil memonopoli perdagangan di sekolah. Sejenak Aku tersadar, setan apa yang merasuki ragaku?, mengapa Aku bisa sebijak ini? Bukankah Aku tidak berada di posisi yang Enzy rasakan?.

Ia yang semula mencatat, kini berhenti. Dengan memegang minuman kaleng itu sebentar, diliriknya perlahan lalu diberikannya kembali kepadaku. Memang benar, bahwa memandang manusia dari satu masa akan menutup sebagian karakter, dan watak mereka di masa-masa yang berbeda. Aku tak marah dan tersinggung, mungkin memang bukan minuman itu yang Enzy butuhkan.

“ Aku Jehrin Aditama Nugraha Putra, Anak tunggal dari Bapak Djipto Soeryadiningrat. Aku mau menjadi bagian dari tim kreatif sekolah SMA Tunas Mandiri. Hmm Enzy, masihkah Kamu beriba untuk menerimaku?,” jawabku sambil memberikan kembali minuman itu pada Enzy, tepat di depan wajahnya.

Seketika Ia menatapku, dengan gerakan menarik dan membuang napas perlahan. Lalu dipegangnya kaleng soda yang kembali kusodorkan itu, ditatapnya perlahan dengan cekatan, namun santai.  Ia buka bagian atas kaleng itu. Betapa terkejutnya Aku saat air soda itu dibuangnya perlahan ke tanaman aglonema yang berada di sampingnya di hadapanku.

“ Hei, kau benar-benar tidak menghargai Aku!” Teriakku geram

Namun, disisakannya setengah minuman itu, lalu setengahnya lagi diminumnya. “ Air soda ini ibaratkan seperti Aku,  yang berada di posisi tertekan namun, harus dituntut tetap professional. Separuh itu kubuang atas penolakanmu, dan sisanya kuminum karena kesediaanmu. Dunia bukan hanya kejam namun penuh pembelajaran, bahwa hal-hal baik datang, tidak dengan cara yang mudah serta hadir dari orang-orang yang tepat. Terima kasih sudah mau membantuku, Kamu sebagai ketua divisi dekorasi dalam pawai ini, jadi kapan bisa kita mulai projectnya?,” dengan tatapan dan mata yang sedikit menyipit diikuti dengan senyum lebar milik Enzy,  di sana kulihat ada keoptimisan, nikmat juang yang tercipta, serta pembelajaran yang Ia sampaikan secara tersirat,   dari senyum tertulusnya itu Aku paham, bahwa darinya, langkah kebaikan bisa Aku dapatkan selain dari kedua orang tuaku.

Rasa ibaku muncul bukan hanya hari ini, melainkan setelah dipupuk dan ditumpuk dengan peristiwa yang bukan hanya Enzy yang merasakan, Aku yang tidak berada diposisinya pun bisa merasakan. Di setiap langkahnya pasti terpikir hujatan dan hinaan dari orang-orang yang Ia sayangi, sahabat dekatnya yang menjauhi. Aku berusaha menjaga jarak untuk memantau perjalanan Enzy yang berujung di Panti Asuhan Cahaya Ibu, tempat kedua orang tuaku yang menjadi donatur tetap di sana. Bahkan karena sifatku yang apatis ini, setiap kali mereka mengajakku untuk mengunjungi panti itu, pasti Aku selalu menolak, dan merasa malas bertemu dengan anak panti yang kuanggap tidak penting dan tidak berperan dalam kepentingan hidupku. Mungkin sejak Aku berada di bangku SD,  ibu dan ayahku menjadi donatur tetap di panti itu, dan mungkin juga akan menjadi cerita berbeda jika Aku bertemu dengan Enzy sejak kecil. Semua pasti terdapat hikmah yang mampu kupetik, dengan klimaks yakni seluruh anak panti itu memeluk Enzy di pekarangan rumah,  layaknya menunggu seorang yang baru pulang dari perjalanan panjang tak berkesudahan, dengan pelukan yang sepertinya berasal dari ibu panti yang terlihat menenangkan, dari kejauhan tak terasa Aku yang jarang menangis ini, seketika berlinang air mata, mungkin ini adalah momen yang Aku ulangi. Menangis karena suatu hal. Aku ingat sekali kapan terakhir Aku menangis, sekitar kelas 6 Sekolah Dasar. Di sana, terdapat rasa syukur dan kehangatan dalam keluarga,  meski mereka terlahir dari rahim yang berbeda,  walau Enzy dan anak-anak hidup dan berada dalam keterbatasan, sosoknya pada saat itu kunilai sebagai sosok yang tegar, mandiri, dan sederhana.

Hari demi hari Enzy dan Aku semakin dekat selayaknya seorang sahabat, hingga di akhir bulan Februari pawai yang kami gelar berjalan mulus dan lancar, berkat bantuan tim sekolah. Pesona Enzy semakin membuatnya terkenal dan disayang oleh para guru-guru. Namun tetap saja, Cornelis dan karib keturunan Belandanya yang lain tidak ingin menjalin hubungan persahabatan dengan Enzy kembali. Tapi Aku tetap bersahabat dengan Enzy, darinya Aku belajar bahwa,  semua berjalan dalam garis takdir yang semestinya, dan darinya Aku jadi lebih memahami arti dari rasa syukur.

 

28 Maret 1999, Panti Cahaya Ibu


Hari ini merupakan hari terakhir Kami menjalankan ujian yang diadakan sekolah, semoga Aku dan Enzy bisa lulus dengan nilai yang baik, walupun dengan latar belakang pendidikan yang berbeda. Enzy siswa Fisika 2 dan Aku, Jehrin siswa Sosial 3. Semua berjalan lancar, karena Enzy sering mengajari aku matematika. Pelajaran yang tidak Aku sukai lebih tepatnya, Enzy memang handal perihal rumus-rumus dan hitungan,  jari-jemarinya sigap saat mengerjakan soal-soal simulasi tanpa menggunakan kalkulator.  Sedari kecil, Enzy sudah mempelajari sempoa dari Bu Sarah,  yang berkesempatan belajar hingga batas SMP dan berprofesi menjadi guru. Ilmu bu Sarah berhasil diturunkan ke Enzy yang kemudian kembali diteruskan kepada adik-adik pantinya. Bahkan saat belajar menuju ujian pun Aku berkesempatan datang ke panti dan belajar di pekarangan panti bersama Enzy.

Bisa menjadi sebuah kebetulan, bahwa Enzy hari ini juga berulang tahun, Aku bersikap tak mengetahui itu, tapi Aku sudah berkolaborasi dengan Ningsih, anak pengurus panti yang usianya 3 tahun lebih muda dariku itu, untuk mengumpulkan seluruh anak-anak panti demi merayakan ulang tahun Enzy, semua ruangan begitu sepi, Aku pura-pura tak mengetahui bahwa seluruh orang sudah menuju balkon. Tiap ruangan sudah diputari dan dikelilingi oleh Enzy.

“ Rin, kita ke balkon!. Tinggal tempat itu yang belum kita cek,” ucap Enzy cemas dengan raut wajahnya yang perlahan mulai khawatir, karena terlihat dari gerakannya berlari menuju balkon paling atas Panti Cahaya Ibu. Aku mengikutinya di belakang namun cenderung agak sedikit lambat.

 Balkon sudah diisi dengan mereka yang menyayangi Enzy.  Dari Bu Sarah, Ningsih, dan adik-adik panti lainnya. Saat kaki Enzy menapak ke sana semua serentak berkata “ Selamat ulang tahun, Enzy!”. Satu per satu dari mereka mengucapkan do’a terbaik pada Enzy.

“ Jehrin, dia tadi bersamaku bu. Namun kemana dia?,” ucapnya pada Bu Sarah yang memberi ucapan personal dalam pelukkannya, Enzy heran

“ Itu nak Jehrin,” jawab Bu Sarah, seraya menunjuk ke arah belakang Enzy.

Saat itu juga, Aku bawa mawar merah, bunga itu adalah bunga kesukaan Enzy, bunga yang dinilai elegan bagi setiap mata dan itulah yang menjadikeistimewaannya.

“ Selamat Ulang tahun, Henzie Arabella Annemie. Semoga di usia ke 17 tahun ini Kamu bisa menjadi pribadi yang lebih baik. Dan persahabatan Kita selalu terjaga hingga maut yang memisahkan,” sambil memberikan bunga mawar merah yang kupersiapkan dari kemarin, dan berhasil kusembunyikan di dalam ranselku.

“ Terima kasih, Jehrin. Mulai hari ini mawar merah yang Kau beri telah menjadi milikku, akan kurawat dan kujaga layaknya persahabatan Kita,” seketika tangan Enzy mengambil perlahan mawar merah yang berada di tanganku. Semua orang bertepuk tangan dan bersorak bahagia tanpa ada aba-aba, Enzy pun tersenyum padaku.

 Pada hari itu, hari yang paling bersejarah bagi Enzy dan Aku. Bukan hanya sebagai hari terakhir ujian Kami, dan ulang tahun Enzy saja. Namun, hari itu merupakan momen pertama, Aku melukis sosok manusia di kanvas putih milikku, Enzy yang menggunakan seragam SMA Tunas Mandiri dengan memegang mawar merah, tatapannya kosong namun tetap memancarkan kharisma. Hingga membuatku gugup untuk melukisnya, karena bagiku gambar yang kulukis takkan sama dengan sosok Enzy sesungguhnya.

28 Maret 2019,  Halte SMA Tunas Mandiri B

“ Hmm, jadi Enzy adalah sahabatmu pak?, Ia juga berulang tahun hari ini pak?,” ujar Dirga yang merasa bersalah sudah menuduh Pak Jehrin sebagai sosok yang berpura-pura ramah selama ini, ternyata Dirgalah yang terlalu menaruh curiga padanya.

Pak Jehrin tidak mengeluarkan sedikit kata, namun Ia hanya mengangguk seraya membalas ucapan Dirga dengan pernyataan yang benar.

“ Jadi lukisan di ruangan bawah Panti Cahaya Ibu itu adalah lukisan pertamamu untuk Enzy?” lanjut Dirga penasaran.

Kali ini Pak Jehrin, justru membersihkan setiap perlengkapan melukisnya. Dengan sigap, dibawanya kanvas yang sudah tergambar dan hampir selesai itu, Ia buru-buru pergi walaupun waktu belum menunjukkan jam 12 siang, saat biasanya Ia pergi. Ia menatap ke arah Dirga sambil mengangguk lagi. Yang setelah itu, ditatapnya kembali arah depan dalam fokus miliknya, lalu pergi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar