Jumat, 14 Agustus 2020

(HALTE SERIES- END): Minggu, A Secret, Farewell

Semalaman Dirga tak mampu tidur nyenyak, apa yang sebenarnya akan dijawab oleh Ervi selalu terpikir di benak Dirga, bahkan Dirga datang sebelum siswa pulang. Lagi dan lagi, Dirga temui Pak Jehrin, bukan dengan kanvas, namun dengan menaburkan bunga ke jalanan, sama persis dengan apa yang Pak Jehrin lakukan saat pertama kali bertemu dengan Dirga.

Perlahan Dirga melangkah menuju lelaki itu, mengarah ke posisi yang sama persis saat Dirga terlambat, yakni hal serupa yang  Pak Jehrin lakukan. Lalu Pak Jehrin terdiam dalam pejamannya.

“ Hari ini, hari perpisahan sekolah kami. Di hari ini juga Enzy meninggal, karena tertabrak di jalanan ini. Bodoh sekali Aku waktu itu, menunggunya dari sini. Padahal bunga mawar merah telah kusiapkan sebagai tanda kelulusan kami,” ucap Pak Jehrin, tanpa ada tanya yang dilontarkan dari Dirga sebelumnya yang berada di belakang Pak Jehrin.

Dirga hanya tertunduk. “ Maafkan Aku Pak, ternyata sulit sekali mengikhlaskan kehilangan, tapi sejak kecil Aku sudah merasakannya, bahkan memilikinya pun tak pernah. Kedua orang tuaku. Perlahan Aku mulai mencintai takdir, tanpa menyalahi pemberian Tuhan perihal jodoh, rezeki, dan kematian itu sendiri,” balas Dirga dalam ucapannya.


Pak Jehrin hanya tersenyum mendengar perkataan Dirga. Jam sudah menunjukkan pukul 10, Dirga pun pergi meninggalkan keberadaan Pak Jehrin ke tempat biasa Dirga menunggu Ervi, halte Sma Tunas Mandiri A. Dengan menggenggam bunga Edelwise jingga yang belum sempat diterima Ervi kemarin. Namun dari kejauhan, di pintu gerbang Dirga menemui Ervi bersama sosok lelaki berparas tampan bagi mayoritas pandangan wanita, warna kulitnya putih bersih, tinggi sekitar 170 cm, dengan rambut bergaya seperti nichola saputra dalam film Ada Apa Dengan Cinta 1 yang berlokasi di latar dan suasana SMA, bibirnya yang sedikit berwarna merah menunjukkan bahwa Ia bukanlah lelaki yang merokok, hidungnya yang mancung, dengan mata sendu seolah memberi kesan kalem dan santun milik lelaki itu.

Diantara percakapan antara Ervi dan lelaki itu, Ervi menatap Dirga dengan tatapan seolah telah menemukannya dari kejauhan, seketika Ervi berbisik pada lelaki itu. Lalu lelaki itu berjalan menuju kembali ke dalam sekolah, dan Ervi datang menuju Dirga.

“ Hmm.. sudah lama ya Dir?,” ucap Ervi yang langsung mengambil tempat duduk di sebelah kanan Dirga, sambil menatap jalanan pagi yang sepi dari kendaraan yang melintas, khususnya bus.

Dirga hanya diam. “ Tadi itu siapa vi,” balas Dirga di sela-sela keheningan obrolan diantaranya dan Ervi.

Perlahan Ervi berdiri menuju pintu halte yang tak berbatas, dan jaraknya cukup jauh dari aspal, yang seketika membuat Dirga berdiri juga.

“ Dirga, Aku.... hmmm,” Ervi pun bingung menjawab Dirga, seraya menatap arah sebrang lalu kembali meneteskan air mata miliknya itu.

“ Kenapa Ervi? Apa Aku tak pantas? Atau terlalu cepat? Jika begitu, Aku siap menunggumu,” Balas Dirga.

Tangisan Ervi pun mulai membuncah, lebih keras. “ Aku ga bisa nerima Kamu Dir,” jawab Ervi dalam tangisnya. Dirga pun berjalan dengan langkah kecilnya namun tidak begitu dekat.

“ Kenapa Ervi? Kenapa?,” ujar Dirga yang semakin heran.

Seketika Ervi membalikkan badannya seraya berkata “ Karena Kamu sudah meninggal Dirga!,” teriak Ervi dalam tangisnya yang semakin menjadi-jadi.

Ervi menjelaskan bahwa Dirga telah pergi sejak 2 tahun yang lalu, di tahun 2017. Kala itu, Ervi telah mengenal Dirga sejak keluarganya menjadi donatur di Panti Cahaya Ibu, saat itu juga Ervi dan Dirga masih duduk di Sekolah Menengah Pertama (SMP), dari sana Dirga dan Ervi bisa  saling mengenal, mereka adalah siswa yang cerdas di bidang masing-masing, Ervi cerdas di bidang kesusastraan, sedangkan Dirga hebat di bidang matematika, mereka sering bermain dan belajar bersama. Namun, mereka justru harus berpisah sekolah, Ervi di Sma Tunas Mandiri dan Dirga di Sma Dharma Bakti, karena Dirga tak mampu membiayai sekolahnya jika harus bersekolah di sana, Dirga harus bekerja sepulang sekolah, karena setiap tahunnya uang pembangunan dan iuran sekolah Sma Tunas Mandiri semakin meningkat, untuk mengandalkan uang donatur pun tidaklah cukup, Dirga tak ingin egois untuk keberlangsungan adik-adiknya di panti, sehingga Dirga putuskan untuk memilih Sma Dharma Bakti.

Namun hal itu, tidak membuat jalinan kedekatan Dirga dan Ervi menjadi renggang, bahkan tetap erat. Sepulang sekolah Dirga selalu menunggu Ervi, entah untuk belajar bersama atau hanya makan bersama. Hingga pada akhirnya, di Halte Sma Tunas Mandiri A, Dirga menyatakan cinta pada Ervi dengan membawa bunga Edelweis jingga dalam genggamannya. Namun Ervi justru menjelaskan bahwa Ervi tak bisa menjawabnya waktu itu, karena hal itu dirasa akanmengganggu pendidikannya, Ervi berjanji menjawab saat menuju kelulusan sekolah. Dan Dirga siap menunggu hal itu.

Hari itu, hujan deras sekali bau petrichor meraba penciuman Ervi. Bus pun datang yang kemudian diiringi oleh Ervi yang mengucapkan selamat tinggal pada Dirga , lalu memasukki bus itu. Seperti biasa tempat favorite Ervi adalah bangku yang tersudut pada jendela. Bus melaju pelan. 4 April 2017, di tengah kumpulan hujan yang datang, dengan hati yang pasrah Dirga terhanyut dalam lamunannya, saat menyebrang jalan. Dirga temukan sosok pelukis jalanan biasa yang melukis sahabat wanitanya yakni Pak Jehrin. Langkah Dirga tertahan dan membangunkan Dirga dari lamunannya karena sebuah sirine terdengar menembus pendengaran Dirga, dan terjadilah kecelakaan itu. Ervi yang berada di dalam bus melihat kecelakaan itu melalui jendela bus, dan seketika Ervi menghentikan laju perjalanan bus yang bukan berhenti di halte berikutnya.

Ervi berlari menuju tubuh Dirga yang terbujur kaku bersimbah darah, disaksikan sekumpulan orang, juga di depan Ervi yang berteriak histeris di bawah riuh derasnya sang hujan. Bau petrichor mulai samar, menyatu dengan darah Dirga yang mengalir, menyebar ke setiap penciuman orang yang berada di sekelilingnya, saat itu juga Dirga menghembuskan napas terakhirnya dengan kondisi badan yang  terbujur di atas aspal, seraya menggenggam bunga edelweis jingga yang berada di tangan kanannya, lalu seketika terlepas dari jemari yang menggenggamnya erat, Dirga dan Ervi bukan hanya terpisah sekolah namun juga dimensi ruang dan waktu.

“ Tidak mungkin Ervi, jika Aku telah pergi mengapa Kamu, Pak Jehrin, dan Irham mampu berkomunikasi denganku?,” ucap Dirga.

Perlahan Ervi memutar badannya berjalan ke arah Dirga, lalu menyentuh Edelweis jingga yang Dirga genggam, lalu Edelweis itu berubah menjadi hitam, hilang, dan terbang bagai abu yang ditiup angin atau embun di kala siang menghampiri. Seketika Dirga terkejut melihat bunga simbol keabadian itu usang, yang bukan hanya layu, melainkan menyatu dengan udara, bagai debu yang tak diharapkan kehadirannya.

“ Aku, Pak Jehrin, dan Irham adalah manusia yang diberikan anugrah dari Tuhan untuk melihat bahkan berkomunikasi dengan makhluk dari dimensi berbeda, seperti Kamu Dirga. Dan sekarang  Aku tahu mengapa alasan Kamu datang sejak kepergianmu, Aku paham bahwa Kamu masih menunggu jawaban dariku Dirga. Tentang cintamu yang Kau ungkap sedari 2 tahun yang lalu, yang kemudian Ku simpan hingga saat ini,” tutur Ervi.


Seketika memori Dirga memutar kembali saat Ia berada di halte bersama Wanita kantoran yang dianggapnya sakit, di sana Wanita itu meraskan aura sosok makhluk halus namun tak mampu Ia lihat, begitu pun dengan anak-anak panti yang berada di balkon seketika berhamburan menuruni tangga karena merasakan aura Dirga, bahkan ekspresi keheranan dari sahabat Ervi tentang keberadaannya, berita tentang kepergian Dirga sudah diketahui oleh tiga angkatan dan setiap masyarakat yang berada di lingkungan Sma Tunas Mandiri, warga Sma Dharma Bakti, maupun di lingkungan Panti Asuhan Cahaya Ibu.

Dirga rasanya tak mempercayai semua ini, semua pengharapan bertemu orang tuanya, dan membahagiakan orang-orang terdekatnya kini kandas dan sirna. Namun, Dirga masih belum yakin akan hal ini, ini hanyalah mimpi buruknya yang terwujud. Yang Dirga butuhkan adalah bangun dan sadar bahwa Ia masih sibuk terlelap. Sambil memukul kedua pipinya.

“ Kamu memang telah tidur Dirga, yang kamu butuhkan bukanlah terbangun. Namun, melanjutkan kembali tidurmu untuk selamanya. Dirga, yang harus Kamu tahu bahwa, Kamu akan selalu memiliki senyumanku, sekaligus tangisku. Aku juga mencintaimu, Kamu adalah cinta pertamaku Dirga,  namun kita tidak bisa bersama dan saling memiliki antar keduanya, jadi Pergilah Dirga! Tenanglah di alam sana! Do’aku selalu menyertaimu,” ucap Ervi yang kali ini mengulang tangisannya, airmata itu tak sanggup dibendung dari kedua kelopak matanya.

Hujan pun turun seketika, sama seperti saat Ervi meninggalkan Dirga ke dalam bus. Terlihat dari gerbang sekolah mobil Alphard hitam yang dilihat Dirga muncul menuju arah halte Sma Tunas Mandiri A, dan berhenti tepat di depannya. Seorang lelaki yang berparas tampan yang sebelumnya bersama Ervi turun dengan payung hitam miliknya, untuk menjemput Ervi yang akan melindunginya dari lebatnya hujan. Ervi pun mengikuti instruksi lelaki itu, Ia masih menoleh melihat Dirga seraya melambaikan tangan dan mengucapkan kata terakhirnya “ Selamat tinggal, Dirga!,” ucapnya samar dari kejauhan.

Dirga sadar, bahwa puisi yang ditulis Ervi bukan hanya puisi biasa, itu adalah gambaran puisi tentangnya. Tentang Ervi yang kehilangan sosok Dirinya. Sahabat sekaligus cinta pertama Ervi yang tak mungkin menjadi cinta terakhirnya, karena telah pupus oleh peristiwa yakni “ kematian”


Mobil Alphard hitam itu melaju bersama kabut di tengah derasnya hujan, Dirga tapaki kakinya menuju ke sebrang jalan dengan sosok lelaki pelukis yang selama ini berpura-pura menyembunyikan keberadaan Dirga sebenarnya. Dirga hanya menoleh ke arah Pak Jehrin yang sibuk dengan kanvas dan palet cat miliknya dan pastinya lukisannya adalah Enzy, lagi dan lagi. Dirga putuskan untuk pergi berjalan ke pantinya.

“ Dirga!,” teriak Pak Jehrin seraya berlari menuju Dirga. Dirga memberhentikan langkahnya tanpa menoleh ke sumber suara yang sudah diketahui bahwa itu adalah suara Pak Jehrin.

“ Akhirnya, sudah Kau temui apa arti perkara jodoh, rezeki, dan maut Dirga, Aku salut dengan tekad bulatmu menunggu jawaban dari Ervi, namun perlu Kau ketahui, bahwa  Kau belum mengikhlaskan dan mencintai takdirmu yang sesungguhnya!,” ucap Pak Jehrin di bawah lebatnya hujan dalam langkahnya menyusul Dirga.

Dirga hanya terdiam melanjutkan langkahnya yang mengarah menuju panti Cahaya Ibu, namun hari itu Pak Jehrin bukanlah melukis Enzy, melainkan sosok Dirga dengan menggunakan seragam Sma Dharma Bakti dengan perasaan cemas sambil duduk di Halte Sma Tunas Mandiri A, seraya menggenggam bunga Edelwise Jingga miliknya. Dan tertulis di bawahnya. RIP Dirga Utama, 4 April 2017

Di depan pintu panti, Irham sudah menunggu kedatangan Dirga di teras pantinya. Namun dengan keadaan basah kuyup Dirga tak menyapanya sedikit pun, justru langsung masuk ke panti.

“ Kak, Kakak sudah tahu semuanya?,” tanya Irham

Dirga hanya diam, sambil mengangguk.

“ Ada yang ingin Irham tunjukkan padamu Kak, Ayo, ikuti Irham!,” seru Irham pada Dirga yang masih terdiam, namu perlahan Dirga beranjak mengikuti langkah Irham. Irham bergerak menuju ruang bawah yang tak satu pun orang bisa memasukkinya, namun pernah tak sengaja dimasukki oleh Dirga. Dan kali ini Irham yang membawanya kembali ke ruangan itu, masih sama, tak ada tata letak yang berubah terlalu signifikan, tapi satu hal yang masih menjadi rahasia. Yakni sebuah kain yang menutupi entah kanvaskah atau bingkai, karena bentuknya berupa persegi panjang. Seketika kain itu ditarik oleh Irham.

Betapa terkejutnya Dirga melihat sesuatu dibalik kain putih itu, itu adalah sebuah lukisan, gambar yang menjadi refleksi dari wajahnya dan Ervi saat memasuki sekolah yang berbeda, dalam lukisan itu Dirga menggunakan seragam Sma Dharma Bakti dan Ervi dengan seragam Sma Tunas Mandiri. Di bawah lukisan tersebut tertera tahun lukisan itu dibuat yakni 2016, tahun ajaran baru bagi siswa-siswi di setiap angkatan. Kemudian Dirga mengingat kembali memorinya yang hilang, bahwa lukisan itu sebagai permintaan Dirga pada Pak Jehrin untuk digambarkan, dan dari sanalah Dirga dan Ervi mengenal Pak Jehrin. Lukisan itu sebagai hadiah ulang tahun untuk Ervi.

“ Jika Kakak sudah mengingatnya, Akan Irham perjelas mengapa lukisan itu diletakkan disini. Kak Ervi tidak sanggup mengingat kepergian Kak Dirga melalui tragedi kecelakaan Kak Dirga, sehingga Ibu meletakkannya di ruangan ini,  agar setiap orang yang menjadi saksi peristiwa itu tidak terngiang dan teringat akan kepergian Kak Dirga,” ujar Irham.

Dirga pun menangis sejadi-jadinya, Dirga berjalan di tengah hujan sambil melambaikan tangan dan masih mengenakan seragam sekolahnya itu ke arah Irham yang berada di depan teras. Mulai hari itu, Dirga tak pernah kembali lagi.

 

Selasa- SMA Tunas Mandiri.

Seluruh siswa berkumpul untuk melihat pengumuman kelulusan mereka, yang berada tepat di papan pengumuman bersebelahan dengan kelas Ipa 1. 3 tahun berturut-turut peringkat pertama dari jurusan sosial masih dipegang oleh Ervi,  Ervi bahagia sekali melihat kelulusannya sebagai siswi dengan peringkat teratas, dan berhasil masuk ke perguruan tinggi impiannya melalui jalur undangan. Ervi berjalan menuju gerbang bersama lelaki tampan yang sudah menjadi kekasihnya itu, Virgo. Ervi menatap Halte Sma Tunas Mandiri A, namun tak Ervi temui sosok Dirga lagi. Di sebrang jalan terdapat Irham dan Pak Jehrin yang menatap ke arah Ervi sambil tersenyum, Ervi pun membalas senyuman itu dengan tulus. -end

Tidak ada komentar:

Posting Komentar