Semenjak peristiwa kemarin, Dirga memutuskan untuk tidak bersekolah. Ia ingin mengistirahatkan sejuta pemikirannya dan berbagai rasa penasarannya, yang sedikit demi sedikit terbayar. Jum’at merupakan hari libur bagi anak-anak panti yang masih memiliki keluarga, memang tidak semua anak Panti Cahaya Ibu terlahir dengan kondisi orang tua mereka yang menelantarkan, namun ada yang masih memiliki orang tua tetapi, mereka hidup dalam kondisi yang kurang mampu, dan ada juga orang tua yang sakit-sakitan, sehingga banyak yang terpaksa menitipkan anaknya di panti ini bahkan sedari mereka kecil.
Secara otomatis Panti Cahaya Ibu menjadi kurang penghuninya, Dirga menuju
ruang kemarin yang ditemuinya di ujung koridor bawah, yang berisi lukisan.
Namun, kondisinya sudah terkunci dan tertutup rapat. Berbeda saat pertama kali
Ia temui yang tak dikunci dan mudah sekali Dirga buka.
Akhirnya Dirga putuskan untuk naik ke Balkon panti, kali ini balkon tak
diisi oleh satu pun orang. Setiap orang bersekolah dan memiliki agenda mereka
masing-masing. Dirga yang bingung dan bosan, membuatnya melihat dinding-dinding
balkon yang ditulis dengan berbagai cita-cita penghuni panti, ya penghuni panti
dari era ke era.
Dan berakhir pada belakang bangku kayu yang dibuat anak-anak, hal itu menghentikan
pandangan Dirga, perlahan Dirga mengambil posisi setengah jongkok, karena di
sana terdapat sebuah tulisan yang tertera “ Henzie dan Jehrin, kuharap Tuhan
selalu menjaga persahabatan kami, dan terus diberikan waktu untuk bersama, dan
berbagi cerita.. aammiinn. 30 Maret 1999,” tulisan itu nampaknya tersembunyi
dan baru diketahui oleh Dirga, tulisan yang digoreskan 2 hari setelah hari ulang
tahun Enzy, dan berhasil Dirga lihat saat Ia menghapus beberapa debu yang
menutupi permukaan bangku kayu tersebut, tulisan itu sengaja diukir dengan rapi.
Mungkin dengan tujuan tak bisa sirna walau hujan datang, atau tak lekang oleh
arus waktu. Pikir Dirga.
“ Hei, Kakak ngapain?,” seseorang membisikkan suara halusnya di telinga
Dirga. Sontak Dirga terkejut dan mencoba
berbalik arah lalu mengambil posisi berdiri.
“ Eh Kakak ga ngapa-ngapain kok, Kamu tidak sekolah ya?, Kakak laporin
ibumu nanti,” sosok Irham yang Dirga ketahui membuat pecah konsentrasinya pada
tulisan usang yang sepertinya milik Enzy itu.
“ Ini sudah Jam 10 Kak, Jum’at kan pulangnya cepat,” jawab Irham dengan
nada polosnya
Dirga hanya tersenyum dan merespons dengan tingkah yang menunjukkan bahwa Ia
lupa, “ oh iya ya hehe,”
Dirga dan Irham mengambil tempat duduk tepat di bangku yang tertulis oleh
harapan Enzy tersebut. Dengan dihiasi langit cerah berawan namun, tetap sejuk
mereka melihat pemandangan sekitar dari atas balkon panti.
“ Ham, Kakak mau tanya. Tapi, Kamu harus jawab jujur ya,” tutur Dirga pada
Irham yang duduk di sebelah kirinya.
Sepersekian detik, Irham membalas dengan anggukan.
“ Baiklah, Kamu pernah tahu ga tentang, penghuni panti yang bernama Enzy
dari Ibumu?,” ucap Dirga.
“ Setahu Irham, Ibu pernah cerita sedikit tentang Enzy. Karena waktu itu
Irham melihat sosok lelaki tua, yang sering menggunakan baret seperti pelukis
terus ke panti dari Irham kecil, beliau merupakan donatur panti yang mengikuti
jejak estafet orang tuanya yang menjadi donatur juga. Kalau tidak salah nama
bapak itu Jehrin, tapi Irham lupa nama belakangnya, yang pasti dia punya darah
ningrat. Karena penasaran Irham tanya ke Ibu tentang beliau, kata Ibu beliau
merupakan teman Ibu yang lebih tua usianya dan teman Enzy. Enzy merupakan
keturunan Belanda yang lahir tanpa tahu siapa kedua orang tuanya dan dimana, namun kejadian naas menimpa Enzy kala
Ia berhasil menyelesaikan studinya SMAnya di usia 17,” ujar Irham.
Dari ekspresi Irham, Ia takut dan ragu untuk menceritakannya kembali. Namun,
dengan rasa keberanian yang dikumpulkan oleh Irham akhirnya, dilanjutkannya
cerita Enzy pada Dirga sembari diyakinkan oleh Dirga untuk melanjutkannya.
“ Ia juga meninggal ditabrak mobil yang melintas, di depan SMA Tunas
Mandiri saat Enzy ingin menyebrang jalan, yang pada hari itu, terhitung tanggal
4 April 1999, merupakan hari perpisahan sekolah bagi siswa-siswi SMA Tunas
Mandiri angkatan tahun 1999,” tutur Irham yang perlahan menundukkan
pandangannya.
Akhirnya perlahan-lahan, setiap peristiwa mulai terbongkar dari cerita
Irham. Bahwa tanggal yang ditulis di bawah lukisan pertama Pak Jehrin adalah
tanggal kematian Enzy. Sejenak sebuah mobil Jeep di depan pintu panti
memikat atensi Dirga dan Irham, yang sepertinya kunjungan donatur panti seolah perlahan
menghentikan percakapan Dirga dan Irham tentang Enzy.
“ Apa mungkin itu Pak Jehrin Ham,?” tanya Dirga mungkin seperti pucuk
dicinta ulam pun tiba.
“ Bisa Irham pastikan bukan, itu mobil keluarga Soepriyanto Prahasukma Jaya,
donatur tetap panti ini dari kak Dirga kecil. Isunya anak perempuan pak Praha
bersekolah di SMA Tunas Mandiri juga, tapi Irham tidak tahu namanya,” tutur
Irham
Pandangan Dirga terus membidik siapa sosok yang berada di dalam mobil Jeep
itu, dan betapa terkejutnya Dirga, bahwa yang pertama kali Ia lihat adalah
Ervi. Gadis pujaan hatinya yang masih Dirga simpan cintanya. Terlihat Ervi
masih menggunakan pakaian sekolah, yang menunjukkan bahwa Ia dijemput setelah
jam pelajaran berakhir, sambil memegang sebuah buku coklat bersampul kuning
keemasan, yang sepertinya itu buatan tangan Ervi. Dirga pun mengajak Irham
untuk turun membantu, tapi Irham menegaskan bahwa, pihak donatur pasti hanya
ingin memberi supply uang dan sembako sehari-hari saja, terlalu banyak
anak di bawah untuk diawasi, sehingga Irham membujuk Dirga agar tetap berada di
balkon. Dirga pun meng-iya-kan permintaan Irham.
Selang beberapa menit kemudian, benar saja ramalan Irham berhasil
terprediksi dengan tepat. Ervi dan orang tuanya kembali menuju mobil Jeepnya.
Dan buru-buru mereka bergegas pulang. Setelah kepulangan Ervi, Dirga dan Irham
pun menuruni balkon panti, terlihat kondisi panti sudah mulai sepi, anak-anak
mulai bermain lagi di pekarangan, bahkan ke rumah karib dan sahabat mereka.
Namun, satu benda terlihat di pelupuk mata Dirga, dari kejauhan Dirga sangat
yakin, bahwa benda yang Ia lihat adalah buku milik Ervi, yang dibawanya saat
keluar dari mobil. Lebih jelas terlihat, buku itu tertulis
“ Puisi Keabadian, Erviana Sahraniza. Ilmu Sosial 3,”. Dirga akhirnya
menemukan jalan untuk bertemu dengan Ervi kembali, besok akan Ia temui gadis
itu. Untuk mengembalikan buku milik Ervi, dan sepertinya buku itu adalah
‘benda’ yang menjadi kesengajaan untuk Ervi tinggalkan. Pikir Dirga dengan besarnya
perasaan sepihak miliknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar