Jumat, 14 Agustus 2020

(HALTE SERIES-LIMA) : Jum'at, A Conversation, Ervi's book

 Semenjak peristiwa kemarin, Dirga memutuskan untuk tidak bersekolah. Ia ingin mengistirahatkan sejuta pemikirannya dan berbagai rasa penasarannya, yang sedikit demi sedikit terbayar. Jum’at merupakan hari libur bagi anak-anak panti yang masih memiliki keluarga, memang tidak semua anak Panti Cahaya Ibu terlahir dengan kondisi orang tua mereka yang menelantarkan, namun ada yang masih memiliki orang tua tetapi, mereka hidup dalam kondisi yang kurang mampu, dan ada juga orang tua yang sakit-sakitan, sehingga banyak yang terpaksa menitipkan anaknya di panti ini bahkan sedari mereka kecil.

Secara otomatis Panti Cahaya Ibu menjadi kurang penghuninya, Dirga menuju ruang kemarin yang ditemuinya di ujung koridor bawah, yang berisi lukisan. Namun, kondisinya sudah terkunci dan tertutup rapat. Berbeda saat pertama kali Ia temui yang tak dikunci dan mudah sekali Dirga buka.

Akhirnya Dirga putuskan untuk naik ke Balkon panti, kali ini balkon tak diisi oleh satu pun orang. Setiap orang bersekolah dan memiliki agenda mereka masing-masing. Dirga yang bingung dan bosan, membuatnya melihat dinding-dinding balkon yang ditulis dengan berbagai cita-cita penghuni panti, ya penghuni panti dari era ke era.



Dan berakhir pada belakang bangku kayu yang dibuat anak-anak, hal itu menghentikan pandangan Dirga, perlahan Dirga mengambil posisi setengah jongkok, karena di sana terdapat sebuah tulisan yang tertera “ Henzie dan Jehrin, kuharap Tuhan selalu menjaga persahabatan kami, dan terus diberikan waktu untuk bersama, dan berbagi cerita.. aammiinn. 30 Maret 1999,” tulisan itu nampaknya tersembunyi dan baru diketahui oleh Dirga, tulisan yang digoreskan 2 hari setelah hari ulang tahun Enzy, dan berhasil Dirga lihat saat Ia menghapus beberapa debu yang menutupi permukaan bangku kayu tersebut, tulisan itu sengaja diukir dengan rapi. Mungkin dengan tujuan tak bisa sirna walau hujan datang, atau tak lekang oleh arus waktu. Pikir Dirga.

“ Hei, Kakak ngapain?,” seseorang membisikkan suara halusnya di telinga Dirga. Sontak  Dirga terkejut dan mencoba berbalik arah lalu mengambil posisi berdiri.

“ Eh Kakak ga ngapa-ngapain kok, Kamu tidak sekolah ya?, Kakak laporin ibumu nanti,” sosok Irham yang Dirga ketahui membuat pecah konsentrasinya pada tulisan usang yang sepertinya milik Enzy itu.

“ Ini sudah Jam 10 Kak, Jum’at kan pulangnya cepat,” jawab Irham dengan nada polosnya

Dirga hanya tersenyum dan merespons dengan tingkah yang menunjukkan bahwa Ia lupa, “ oh iya ya hehe,”

Dirga dan Irham mengambil tempat duduk tepat di bangku yang tertulis oleh harapan Enzy tersebut. Dengan dihiasi langit cerah berawan namun, tetap sejuk mereka melihat pemandangan sekitar dari atas balkon panti.

“ Ham, Kakak mau tanya. Tapi, Kamu harus jawab jujur ya,” tutur Dirga pada Irham yang duduk di sebelah kirinya.

Sepersekian detik, Irham membalas dengan anggukan.

“ Baiklah, Kamu pernah tahu ga tentang, penghuni panti yang bernama Enzy dari Ibumu?,” ucap Dirga.

“ Setahu Irham, Ibu pernah cerita sedikit tentang Enzy. Karena waktu itu Irham melihat sosok lelaki tua, yang sering menggunakan baret seperti pelukis terus ke panti dari Irham kecil, beliau merupakan donatur panti yang mengikuti jejak estafet orang tuanya yang menjadi donatur juga. Kalau tidak salah nama bapak itu Jehrin, tapi Irham lupa nama belakangnya, yang pasti dia punya darah ningrat. Karena penasaran Irham tanya ke Ibu tentang beliau, kata Ibu beliau merupakan teman Ibu yang lebih tua usianya dan teman Enzy. Enzy merupakan keturunan Belanda yang lahir tanpa tahu siapa kedua orang tuanya dan  dimana, namun kejadian naas menimpa Enzy kala Ia berhasil menyelesaikan studinya  SMAnya di usia 17,” ujar Irham.

Dari ekspresi Irham, Ia takut dan ragu untuk menceritakannya kembali. Namun, dengan rasa keberanian yang dikumpulkan oleh Irham akhirnya, dilanjutkannya cerita Enzy pada Dirga sembari diyakinkan oleh Dirga untuk melanjutkannya.

“ Ia juga meninggal ditabrak mobil yang melintas, di depan SMA Tunas Mandiri saat Enzy ingin menyebrang jalan, yang pada hari itu, terhitung tanggal 4 April 1999, merupakan hari perpisahan sekolah bagi siswa-siswi SMA Tunas Mandiri angkatan tahun 1999,” tutur Irham yang perlahan menundukkan pandangannya.

Akhirnya perlahan-lahan, setiap peristiwa mulai terbongkar dari cerita Irham. Bahwa tanggal yang ditulis di bawah lukisan pertama Pak Jehrin adalah tanggal kematian Enzy. Sejenak sebuah mobil Jeep di depan pintu panti memikat atensi Dirga dan Irham, yang sepertinya kunjungan donatur panti seolah perlahan menghentikan percakapan Dirga dan Irham tentang Enzy.

“ Apa mungkin itu Pak Jehrin Ham,?” tanya Dirga mungkin seperti pucuk dicinta ulam pun tiba.

“ Bisa Irham pastikan bukan, itu mobil keluarga Soepriyanto Prahasukma Jaya, donatur tetap panti ini dari kak Dirga kecil. Isunya anak perempuan pak Praha bersekolah di SMA Tunas Mandiri juga, tapi Irham tidak tahu namanya,” tutur Irham

Pandangan Dirga terus membidik siapa sosok yang berada di dalam mobil Jeep itu, dan betapa terkejutnya Dirga, bahwa yang pertama kali Ia lihat adalah Ervi. Gadis pujaan hatinya yang masih Dirga simpan cintanya. Terlihat Ervi masih menggunakan pakaian sekolah, yang menunjukkan bahwa Ia dijemput setelah jam pelajaran berakhir, sambil memegang sebuah buku coklat bersampul kuning keemasan, yang sepertinya itu buatan tangan Ervi. Dirga pun mengajak Irham untuk turun membantu, tapi Irham menegaskan bahwa, pihak donatur pasti hanya ingin memberi supply uang dan sembako sehari-hari saja, terlalu banyak anak di bawah untuk diawasi, sehingga Irham membujuk Dirga agar tetap berada di balkon. Dirga pun meng-iya-kan permintaan Irham.

Selang beberapa menit kemudian, benar saja ramalan Irham berhasil terprediksi dengan tepat. Ervi dan orang tuanya kembali menuju mobil Jeepnya. Dan buru-buru mereka bergegas pulang. Setelah kepulangan Ervi, Dirga dan Irham pun menuruni balkon panti, terlihat kondisi panti sudah mulai sepi, anak-anak mulai bermain lagi di pekarangan, bahkan ke rumah karib dan sahabat mereka. Namun, satu benda terlihat di pelupuk mata Dirga, dari kejauhan Dirga sangat yakin, bahwa benda yang Ia lihat adalah buku milik Ervi, yang dibawanya saat keluar dari mobil. Lebih jelas terlihat, buku itu tertulis

“ Puisi Keabadian, Erviana Sahraniza. Ilmu Sosial 3,”. Dirga akhirnya menemukan jalan untuk bertemu dengan Ervi kembali, besok akan Ia temui gadis itu. Untuk mengembalikan buku milik Ervi, dan sepertinya buku itu adalah ‘benda’ yang menjadi kesengajaan untuk  Ervi tinggalkan. Pikir Dirga dengan besarnya perasaan sepihak miliknya.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar