Sabtu pagi menyongsong semua pengharapan yang sedari kemarin Dirga tanam,
dan hari ini akan Dirga tuai saat mendengar sua dari suara Ervi. Namun, Sekolah
Dharma Bakti menjalankan Full Day School, sehingga di Sabtu ini membuat
Dirga tetap berada di Panti Cahaya Ibu. Maka, Ia berniat menemui Ervi sepulang
dari sekolahnya, di tiap akhir pekan, semua siswa hanya mengikuti pelajaran
muatan lokal atau olahraga di SMA Tunas Mandiri.
Rasa penasaran mulai menghanyutkan Dirga untuk membuka isi buku milik Ervi, dengan judul “
Puisi Keabadian” itu. Halaman depannya Dirga buka perlahan yang menampakkan
sebuah biodata singkat Ervi. “ Erviana
Sahraniza, Social 3, live at St. Jiwa Pura No.1101 rt. 09,” alamat yang tertera tersebut ternyata berada tak jauh
dari sekolah SMA Tunas Mandiri, komplek perumahan elit kelas atas.
Lanjut jemari Dirga menelurusi tiap halaman yang ada. Di dalam buku itu
berisi tentang puisi-puisi milik Ervi
dengan berbagai tema, seperti perjuangan, sahabat, cinta, dan sampailah Dirga
di akhir bacaannya, halaman terakhir, tulisan yang paling mengetuk perasaan
Dirga adalah, puisi tentang memiliki sebuah kehilangan
Hilang, Ervi.
Apa yang paling
membuat seseorang menjadi takut?
Jatuh?
Dianggap asing?
Atau justru kehilangan?
Kehilangan, pikirku.
Ia adalah jawaban, saat masa memaksa untuk
mengambil yang berharga dari kita
Hilang adalah kata sifat, yang tak pernah
terlintas dalam benak seseorang.
Karena siapapun ragu atas kehilangan, apalagi
untuk memilikinya.
Kehilangan terbesar bukanlah dipisah oleh jarak
antar pulau, samudra, bahkan planet
Tapi yang terberat adalah, berpisah karena dimensi
ruang juga waktu
Yang seutuhnya mengharuskan manusia untuk mencintai kehilangan itu.
4 April 2017
Dirga menutup buku itu, tubuhnya hanya diam dan hatinya merasa tersentuh
dengan karya Ervi. Sekagum itu Dirga pada Ervi yang ternyata juga pandai dalam
menggoreskan tinta emasnya menjadi untaian kata penuh makna, mendalam.
Pukul menunjukkan ke arah jam sebelas tepat Dirga sudah menunggu, semua siswa keluar dari Sma Tunas Mandiri. Yang
biasanya terjadwal 5 menit lagi, yakni 11.05“ Kringgggg,” bel berbunyi menuju
ke gendang telinga Dirga, satu per satu siswa-siswa keluar ke arah gerbang,
dengan menggunakan baju olahraga kebanggaan Sma Tunas Mandiri yang berwarna
biru dongker itu.
Dirga terus memantau orang-orang yang pulang mulai dari yang naik mobil,
motor, transportasi umum, hingga yang berjalan kaki. Tepat diantara gerombolan
siswi, Dirga akhirnya mendapati Ervi. “ Dirga,” ujar Ervi dari kejauhan. “
Dirga mana Vi? Anak Sma Dharma Bakti?,” sahut salah seorang wanita dengan
rambut keriting dan memiliki kulit sawo matang, sambil menoleh ke arah halte
Tunas Mandiri A yang dipenuhi rasa penasaran.
Seketika Ervi langsung mengalihkan pembicaraannya terkait sosok Dirga. “
Enggak, itu Aku teringat tetangga Aku namanya Dirga, ada acara di rumahnya, Aku
harus buru-buru. Maaf ya semua, Aku duluan, “ jawab Ervi kala itu, demi
mengakhiri obrolan mereka dengan singkat.
Ervi pun berjalan menuju Dirga yang membalikkan pandangannya, Dirga salah
tingkah dibuatnya.
“ Dirga, Kamu ngapain disini? Kamu
kan ga sekolah,” ucap Ervi.
“ Hmm.. sebenarnya Aku ingin mengembalikan buku ini Ervi, Aku tidak sengaja
menemukannya. Dan Aku cuma ingin memberikannya padamu Ervi,” balas Dirga.
Ervi pun mengambil dengan cepat buku itu tanpa mengucap terima kasih, raut
wajahnya menahan kesal namun tidak bisa memarahi Dirga. Saat itu juga Dirga
menceritakan bahwa Ia tidak sengaja melihat buku tersebut untuk mengetahui
siapa pemilik buku tersebut.
“ Kamu baca hingga halaman terakhir Dirga?,”tanya Ervi dengan rada terbata-bata.
“ Iyaa.. Ervi. Sungguh itu puisi yang indah, hingga membuatku tak mampu berkata-kata,”
balas Dirga.
Ervi pun pergi meninggalkan Dirga tanpa pamit, dengan membawa buku miliknya
itu, tiba-tiba Dirga meneriakki Ervi dari jarak yang masih cukup dekat. “ Ervi
Aku menyukaimu, mengagumi senyumanmu. Izinkan Aku memiliki senyuman itu Ervi!,”
teriak Dirga dari arah belakang.
Seketika Ervi pun membalikkan badannya dan terlihat Dirga memegang seikat bunga
Edelweis jingga lalu diberikannya pada Ervi. Ervi dari raut marah kini berubah
menjadi tangis. Tapi Dirga tak tahu apakah itu tangisan haru, sedih, atau
bahagia?.
“ Besok Kamu bisa temui Aku, jam 10 usai ekstrakulikuler siswa berakhir dan
Kamu akan tahu jawabannya,” ucap Ervi sambil menghapus airmata yang tak sanggup
Ia bendung.
Ingin rasanya di hati Dirga, untuk mengusap air mata yang membasahi kedua
pipi Ervi. Lalu mobil Alphard hitam melintas melewati halte Tunas
Mandiri A. Ervi pun berlari dan memasuki mobil tersebut, yang membuat Dirga
heran, bahwa selama ini Dirga ketahui Ervi selalu naik bus. Ervi pun ke arah
berlawanan dengan Dirga dan mendahuluinya, sontak Dirga pun memutarkan badannya
ke arah Ervi yang berlari sambil menangis. Namun sepersekian detik kepalanya
masih melihat ke arah Dirga dengan ekspresi sendu tak henti-hentinya, lalu
dilanjutkan dengan berlari dan memasukki mobil itu di bagian kiri depan, persis
tepatnya di samping kursi supir.
Dirga hanya terdiam dan merenung sesaat, selepas peristiwa itu Dirga
menyebrangi jalan menuju halte Tunas Mandiri B tepat di sebrang Sma Tunas
Mandiri. Dirga menoleh ke arah kanan, tanpa disangka lelaki peluki itu selalu
ada, namun Dirga tak menghiraukan keberadaannya. Ia lebih memilih diam dan Pak
Jehrin lebih memilih fokus dengan lukisan “Enzy” miliknya. Sudah dapat ditebak
oleh Dirga, Dirga pun pulang menuju pantinya. Tapi tiba-tiba bayangan mata Pak
Jehrin mendapati seperti sosok Dirga, dari sebrang jalanan halte Tunas Mandiri
A bersama wanita tercantik di Sma Tunas Mandiri seolah terjadi konflik diantara keduanya, Pak
Jehrin hanya bisa bersikap bijak.
“ Nak, tekadmu memang kuat! Sama seperti yang dulu-dulu,” teriak Pak Jehrin
dari kejauhan yang mampu dijangkau oleh telinga Dirga, sambil menoleh ke arah
kanan. Lalu kembali mengecat lukisannya. Kepala Dirga hanya melihat arah kanan
tanpa menoleh bahkan membalikkan badannya, Dirga menggubris ucapan Pak Jehrin lalu
melangkah pergi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar