Jumat, 14 Agustus 2020

(HALTE SERIES- ENAM): Sabtu, A poem, An Edelweis

 

Sabtu pagi menyongsong semua pengharapan yang sedari kemarin Dirga tanam, dan hari ini akan Dirga tuai saat mendengar sua dari suara Ervi. Namun, Sekolah Dharma Bakti menjalankan Full Day School, sehingga di Sabtu ini membuat Dirga tetap berada di Panti Cahaya Ibu. Maka, Ia berniat menemui Ervi sepulang dari sekolahnya, di tiap akhir pekan, semua siswa hanya mengikuti pelajaran muatan lokal atau olahraga di SMA Tunas Mandiri.

Rasa penasaran mulai menghanyutkan Dirga untuk  membuka isi buku milik Ervi, dengan judul “ Puisi Keabadian” itu. Halaman depannya Dirga buka perlahan yang menampakkan sebuah biodata singkat Ervi. “ Erviana  Sahraniza, Social 3, live at St. Jiwa Pura No.1101 rt. 09,” alamat  yang tertera tersebut ternyata berada tak jauh dari sekolah SMA Tunas Mandiri, komplek perumahan elit kelas atas.

Lanjut jemari Dirga menelurusi tiap halaman yang ada. Di dalam buku itu berisi tentang  puisi-puisi milik Ervi dengan berbagai tema, seperti perjuangan, sahabat, cinta, dan sampailah Dirga di akhir bacaannya, halaman terakhir, tulisan yang paling mengetuk perasaan Dirga adalah, puisi tentang memiliki sebuah kehilangan



Hilang, Ervi.

Apa yang paling  membuat seseorang menjadi takut?

Jatuh?

Dianggap asing?

Atau justru kehilangan?

Kehilangan, pikirku.

 

Ia adalah jawaban, saat masa memaksa untuk mengambil yang berharga dari kita

Hilang adalah kata sifat, yang tak pernah terlintas dalam benak seseorang.

Karena siapapun ragu atas kehilangan, apalagi untuk memilikinya.

Kehilangan terbesar bukanlah dipisah oleh jarak antar pulau, samudra, bahkan planet

Tapi yang terberat adalah, berpisah karena dimensi ruang juga waktu

Yang seutuhnya mengharuskan manusia untuk  mencintai kehilangan itu.

 

4 April 2017

Dirga menutup buku itu, tubuhnya hanya diam dan hatinya merasa tersentuh dengan karya Ervi. Sekagum itu Dirga pada Ervi yang ternyata juga pandai dalam menggoreskan tinta emasnya menjadi untaian kata penuh makna, mendalam.

Pukul menunjukkan ke arah jam sebelas tepat Dirga sudah menunggu,  semua siswa keluar dari Sma Tunas Mandiri. Yang biasanya terjadwal 5 menit lagi, yakni 11.05“ Kringgggg,” bel berbunyi menuju ke gendang telinga Dirga, satu per satu siswa-siswa keluar ke arah gerbang, dengan menggunakan baju olahraga kebanggaan Sma Tunas Mandiri yang berwarna biru dongker itu.

Dirga terus memantau orang-orang yang pulang mulai dari yang naik mobil, motor, transportasi umum, hingga yang berjalan kaki. Tepat diantara gerombolan siswi, Dirga akhirnya mendapati Ervi. “ Dirga,” ujar Ervi dari kejauhan. “ Dirga mana Vi? Anak Sma Dharma Bakti?,” sahut salah seorang wanita dengan rambut keriting dan memiliki kulit sawo matang, sambil menoleh ke arah halte Tunas Mandiri A yang dipenuhi rasa  penasaran.

Seketika Ervi langsung mengalihkan pembicaraannya terkait sosok Dirga. “ Enggak, itu Aku teringat tetangga Aku namanya Dirga, ada acara di rumahnya, Aku harus buru-buru. Maaf ya semua, Aku duluan, “ jawab Ervi kala itu, demi mengakhiri obrolan mereka dengan singkat.

Ervi pun berjalan menuju Dirga yang membalikkan pandangannya, Dirga salah tingkah dibuatnya.

 “ Dirga, Kamu ngapain disini? Kamu kan ga sekolah,” ucap Ervi.

“ Hmm.. sebenarnya Aku ingin mengembalikan buku ini Ervi, Aku tidak sengaja menemukannya. Dan Aku cuma ingin memberikannya padamu Ervi,” balas Dirga.

Ervi pun mengambil dengan cepat buku itu tanpa mengucap terima kasih, raut wajahnya menahan kesal namun tidak bisa memarahi Dirga. Saat itu juga Dirga menceritakan bahwa Ia tidak sengaja melihat buku tersebut untuk mengetahui siapa pemilik buku tersebut.

“ Kamu baca hingga halaman terakhir Dirga?,”tanya Ervi dengan rada terbata-bata.

“ Iyaa.. Ervi. Sungguh itu puisi yang indah, hingga membuatku tak mampu berkata-kata,” balas Dirga.

Ervi pun pergi meninggalkan Dirga tanpa pamit, dengan membawa buku miliknya itu, tiba-tiba Dirga meneriakki Ervi dari jarak yang masih cukup dekat. “ Ervi Aku menyukaimu, mengagumi senyumanmu. Izinkan Aku memiliki senyuman itu Ervi!,” teriak Dirga dari arah belakang.

Seketika Ervi pun membalikkan badannya dan terlihat Dirga memegang seikat bunga Edelweis jingga lalu diberikannya pada Ervi. Ervi dari raut marah kini berubah menjadi tangis. Tapi Dirga tak tahu apakah itu tangisan haru, sedih, atau bahagia?.

“ Besok Kamu bisa temui Aku, jam 10 usai ekstrakulikuler siswa berakhir dan Kamu akan tahu jawabannya,” ucap Ervi sambil menghapus airmata yang tak sanggup Ia bendung.

Ingin rasanya di hati Dirga, untuk mengusap air mata yang membasahi kedua pipi Ervi. Lalu mobil Alphard hitam melintas melewati halte Tunas Mandiri A. Ervi pun berlari dan memasuki mobil tersebut, yang membuat Dirga heran, bahwa selama ini Dirga ketahui Ervi selalu naik bus. Ervi pun ke arah berlawanan dengan Dirga dan mendahuluinya, sontak Dirga pun memutarkan badannya ke arah Ervi yang berlari sambil menangis. Namun sepersekian detik kepalanya masih melihat ke arah Dirga dengan ekspresi sendu tak henti-hentinya, lalu dilanjutkan dengan berlari dan memasukki mobil itu di bagian kiri depan, persis tepatnya di samping kursi supir.


Dirga hanya terdiam dan merenung sesaat, selepas peristiwa itu Dirga menyebrangi jalan menuju halte Tunas Mandiri B tepat di sebrang Sma Tunas Mandiri. Dirga menoleh ke arah kanan, tanpa disangka lelaki peluki itu selalu ada, namun Dirga tak menghiraukan keberadaannya. Ia lebih memilih diam dan Pak Jehrin lebih memilih fokus dengan lukisan “Enzy” miliknya. Sudah dapat ditebak oleh Dirga, Dirga pun pulang menuju pantinya. Tapi tiba-tiba bayangan mata Pak Jehrin mendapati seperti sosok Dirga, dari sebrang jalanan halte Tunas Mandiri A bersama wanita tercantik di Sma Tunas Mandiri seolah terjadi konflik diantara keduanya, Pak Jehrin hanya bisa bersikap bijak.

“ Nak, tekadmu memang kuat! Sama seperti yang dulu-dulu,” teriak Pak Jehrin dari kejauhan yang mampu dijangkau oleh telinga Dirga, sambil menoleh ke arah kanan. Lalu kembali mengecat lukisannya. Kepala Dirga hanya melihat arah kanan tanpa menoleh bahkan membalikkan badannya, Dirga menggubris ucapan Pak Jehrin lalu melangkah pergi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar