Jumat, 14 Agustus 2020

(HALTE SERIES- END): Minggu, A Secret, Farewell

Semalaman Dirga tak mampu tidur nyenyak, apa yang sebenarnya akan dijawab oleh Ervi selalu terpikir di benak Dirga, bahkan Dirga datang sebelum siswa pulang. Lagi dan lagi, Dirga temui Pak Jehrin, bukan dengan kanvas, namun dengan menaburkan bunga ke jalanan, sama persis dengan apa yang Pak Jehrin lakukan saat pertama kali bertemu dengan Dirga.

Perlahan Dirga melangkah menuju lelaki itu, mengarah ke posisi yang sama persis saat Dirga terlambat, yakni hal serupa yang  Pak Jehrin lakukan. Lalu Pak Jehrin terdiam dalam pejamannya.

“ Hari ini, hari perpisahan sekolah kami. Di hari ini juga Enzy meninggal, karena tertabrak di jalanan ini. Bodoh sekali Aku waktu itu, menunggunya dari sini. Padahal bunga mawar merah telah kusiapkan sebagai tanda kelulusan kami,” ucap Pak Jehrin, tanpa ada tanya yang dilontarkan dari Dirga sebelumnya yang berada di belakang Pak Jehrin.

Dirga hanya tertunduk. “ Maafkan Aku Pak, ternyata sulit sekali mengikhlaskan kehilangan, tapi sejak kecil Aku sudah merasakannya, bahkan memilikinya pun tak pernah. Kedua orang tuaku. Perlahan Aku mulai mencintai takdir, tanpa menyalahi pemberian Tuhan perihal jodoh, rezeki, dan kematian itu sendiri,” balas Dirga dalam ucapannya.


Pak Jehrin hanya tersenyum mendengar perkataan Dirga. Jam sudah menunjukkan pukul 10, Dirga pun pergi meninggalkan keberadaan Pak Jehrin ke tempat biasa Dirga menunggu Ervi, halte Sma Tunas Mandiri A. Dengan menggenggam bunga Edelwise jingga yang belum sempat diterima Ervi kemarin. Namun dari kejauhan, di pintu gerbang Dirga menemui Ervi bersama sosok lelaki berparas tampan bagi mayoritas pandangan wanita, warna kulitnya putih bersih, tinggi sekitar 170 cm, dengan rambut bergaya seperti nichola saputra dalam film Ada Apa Dengan Cinta 1 yang berlokasi di latar dan suasana SMA, bibirnya yang sedikit berwarna merah menunjukkan bahwa Ia bukanlah lelaki yang merokok, hidungnya yang mancung, dengan mata sendu seolah memberi kesan kalem dan santun milik lelaki itu.

Diantara percakapan antara Ervi dan lelaki itu, Ervi menatap Dirga dengan tatapan seolah telah menemukannya dari kejauhan, seketika Ervi berbisik pada lelaki itu. Lalu lelaki itu berjalan menuju kembali ke dalam sekolah, dan Ervi datang menuju Dirga.

“ Hmm.. sudah lama ya Dir?,” ucap Ervi yang langsung mengambil tempat duduk di sebelah kanan Dirga, sambil menatap jalanan pagi yang sepi dari kendaraan yang melintas, khususnya bus.

Dirga hanya diam. “ Tadi itu siapa vi,” balas Dirga di sela-sela keheningan obrolan diantaranya dan Ervi.

Perlahan Ervi berdiri menuju pintu halte yang tak berbatas, dan jaraknya cukup jauh dari aspal, yang seketika membuat Dirga berdiri juga.

“ Dirga, Aku.... hmmm,” Ervi pun bingung menjawab Dirga, seraya menatap arah sebrang lalu kembali meneteskan air mata miliknya itu.

“ Kenapa Ervi? Apa Aku tak pantas? Atau terlalu cepat? Jika begitu, Aku siap menunggumu,” Balas Dirga.

Tangisan Ervi pun mulai membuncah, lebih keras. “ Aku ga bisa nerima Kamu Dir,” jawab Ervi dalam tangisnya. Dirga pun berjalan dengan langkah kecilnya namun tidak begitu dekat.

“ Kenapa Ervi? Kenapa?,” ujar Dirga yang semakin heran.

Seketika Ervi membalikkan badannya seraya berkata “ Karena Kamu sudah meninggal Dirga!,” teriak Ervi dalam tangisnya yang semakin menjadi-jadi.

Ervi menjelaskan bahwa Dirga telah pergi sejak 2 tahun yang lalu, di tahun 2017. Kala itu, Ervi telah mengenal Dirga sejak keluarganya menjadi donatur di Panti Cahaya Ibu, saat itu juga Ervi dan Dirga masih duduk di Sekolah Menengah Pertama (SMP), dari sana Dirga dan Ervi bisa  saling mengenal, mereka adalah siswa yang cerdas di bidang masing-masing, Ervi cerdas di bidang kesusastraan, sedangkan Dirga hebat di bidang matematika, mereka sering bermain dan belajar bersama. Namun, mereka justru harus berpisah sekolah, Ervi di Sma Tunas Mandiri dan Dirga di Sma Dharma Bakti, karena Dirga tak mampu membiayai sekolahnya jika harus bersekolah di sana, Dirga harus bekerja sepulang sekolah, karena setiap tahunnya uang pembangunan dan iuran sekolah Sma Tunas Mandiri semakin meningkat, untuk mengandalkan uang donatur pun tidaklah cukup, Dirga tak ingin egois untuk keberlangsungan adik-adiknya di panti, sehingga Dirga putuskan untuk memilih Sma Dharma Bakti.

Namun hal itu, tidak membuat jalinan kedekatan Dirga dan Ervi menjadi renggang, bahkan tetap erat. Sepulang sekolah Dirga selalu menunggu Ervi, entah untuk belajar bersama atau hanya makan bersama. Hingga pada akhirnya, di Halte Sma Tunas Mandiri A, Dirga menyatakan cinta pada Ervi dengan membawa bunga Edelweis jingga dalam genggamannya. Namun Ervi justru menjelaskan bahwa Ervi tak bisa menjawabnya waktu itu, karena hal itu dirasa akanmengganggu pendidikannya, Ervi berjanji menjawab saat menuju kelulusan sekolah. Dan Dirga siap menunggu hal itu.

Hari itu, hujan deras sekali bau petrichor meraba penciuman Ervi. Bus pun datang yang kemudian diiringi oleh Ervi yang mengucapkan selamat tinggal pada Dirga , lalu memasukki bus itu. Seperti biasa tempat favorite Ervi adalah bangku yang tersudut pada jendela. Bus melaju pelan. 4 April 2017, di tengah kumpulan hujan yang datang, dengan hati yang pasrah Dirga terhanyut dalam lamunannya, saat menyebrang jalan. Dirga temukan sosok pelukis jalanan biasa yang melukis sahabat wanitanya yakni Pak Jehrin. Langkah Dirga tertahan dan membangunkan Dirga dari lamunannya karena sebuah sirine terdengar menembus pendengaran Dirga, dan terjadilah kecelakaan itu. Ervi yang berada di dalam bus melihat kecelakaan itu melalui jendela bus, dan seketika Ervi menghentikan laju perjalanan bus yang bukan berhenti di halte berikutnya.

Ervi berlari menuju tubuh Dirga yang terbujur kaku bersimbah darah, disaksikan sekumpulan orang, juga di depan Ervi yang berteriak histeris di bawah riuh derasnya sang hujan. Bau petrichor mulai samar, menyatu dengan darah Dirga yang mengalir, menyebar ke setiap penciuman orang yang berada di sekelilingnya, saat itu juga Dirga menghembuskan napas terakhirnya dengan kondisi badan yang  terbujur di atas aspal, seraya menggenggam bunga edelweis jingga yang berada di tangan kanannya, lalu seketika terlepas dari jemari yang menggenggamnya erat, Dirga dan Ervi bukan hanya terpisah sekolah namun juga dimensi ruang dan waktu.

“ Tidak mungkin Ervi, jika Aku telah pergi mengapa Kamu, Pak Jehrin, dan Irham mampu berkomunikasi denganku?,” ucap Dirga.

Perlahan Ervi memutar badannya berjalan ke arah Dirga, lalu menyentuh Edelweis jingga yang Dirga genggam, lalu Edelweis itu berubah menjadi hitam, hilang, dan terbang bagai abu yang ditiup angin atau embun di kala siang menghampiri. Seketika Dirga terkejut melihat bunga simbol keabadian itu usang, yang bukan hanya layu, melainkan menyatu dengan udara, bagai debu yang tak diharapkan kehadirannya.

“ Aku, Pak Jehrin, dan Irham adalah manusia yang diberikan anugrah dari Tuhan untuk melihat bahkan berkomunikasi dengan makhluk dari dimensi berbeda, seperti Kamu Dirga. Dan sekarang  Aku tahu mengapa alasan Kamu datang sejak kepergianmu, Aku paham bahwa Kamu masih menunggu jawaban dariku Dirga. Tentang cintamu yang Kau ungkap sedari 2 tahun yang lalu, yang kemudian Ku simpan hingga saat ini,” tutur Ervi.


Seketika memori Dirga memutar kembali saat Ia berada di halte bersama Wanita kantoran yang dianggapnya sakit, di sana Wanita itu meraskan aura sosok makhluk halus namun tak mampu Ia lihat, begitu pun dengan anak-anak panti yang berada di balkon seketika berhamburan menuruni tangga karena merasakan aura Dirga, bahkan ekspresi keheranan dari sahabat Ervi tentang keberadaannya, berita tentang kepergian Dirga sudah diketahui oleh tiga angkatan dan setiap masyarakat yang berada di lingkungan Sma Tunas Mandiri, warga Sma Dharma Bakti, maupun di lingkungan Panti Asuhan Cahaya Ibu.

Dirga rasanya tak mempercayai semua ini, semua pengharapan bertemu orang tuanya, dan membahagiakan orang-orang terdekatnya kini kandas dan sirna. Namun, Dirga masih belum yakin akan hal ini, ini hanyalah mimpi buruknya yang terwujud. Yang Dirga butuhkan adalah bangun dan sadar bahwa Ia masih sibuk terlelap. Sambil memukul kedua pipinya.

“ Kamu memang telah tidur Dirga, yang kamu butuhkan bukanlah terbangun. Namun, melanjutkan kembali tidurmu untuk selamanya. Dirga, yang harus Kamu tahu bahwa, Kamu akan selalu memiliki senyumanku, sekaligus tangisku. Aku juga mencintaimu, Kamu adalah cinta pertamaku Dirga,  namun kita tidak bisa bersama dan saling memiliki antar keduanya, jadi Pergilah Dirga! Tenanglah di alam sana! Do’aku selalu menyertaimu,” ucap Ervi yang kali ini mengulang tangisannya, airmata itu tak sanggup dibendung dari kedua kelopak matanya.

Hujan pun turun seketika, sama seperti saat Ervi meninggalkan Dirga ke dalam bus. Terlihat dari gerbang sekolah mobil Alphard hitam yang dilihat Dirga muncul menuju arah halte Sma Tunas Mandiri A, dan berhenti tepat di depannya. Seorang lelaki yang berparas tampan yang sebelumnya bersama Ervi turun dengan payung hitam miliknya, untuk menjemput Ervi yang akan melindunginya dari lebatnya hujan. Ervi pun mengikuti instruksi lelaki itu, Ia masih menoleh melihat Dirga seraya melambaikan tangan dan mengucapkan kata terakhirnya “ Selamat tinggal, Dirga!,” ucapnya samar dari kejauhan.

Dirga sadar, bahwa puisi yang ditulis Ervi bukan hanya puisi biasa, itu adalah gambaran puisi tentangnya. Tentang Ervi yang kehilangan sosok Dirinya. Sahabat sekaligus cinta pertama Ervi yang tak mungkin menjadi cinta terakhirnya, karena telah pupus oleh peristiwa yakni “ kematian”


Mobil Alphard hitam itu melaju bersama kabut di tengah derasnya hujan, Dirga tapaki kakinya menuju ke sebrang jalan dengan sosok lelaki pelukis yang selama ini berpura-pura menyembunyikan keberadaan Dirga sebenarnya. Dirga hanya menoleh ke arah Pak Jehrin yang sibuk dengan kanvas dan palet cat miliknya dan pastinya lukisannya adalah Enzy, lagi dan lagi. Dirga putuskan untuk pergi berjalan ke pantinya.

“ Dirga!,” teriak Pak Jehrin seraya berlari menuju Dirga. Dirga memberhentikan langkahnya tanpa menoleh ke sumber suara yang sudah diketahui bahwa itu adalah suara Pak Jehrin.

“ Akhirnya, sudah Kau temui apa arti perkara jodoh, rezeki, dan maut Dirga, Aku salut dengan tekad bulatmu menunggu jawaban dari Ervi, namun perlu Kau ketahui, bahwa  Kau belum mengikhlaskan dan mencintai takdirmu yang sesungguhnya!,” ucap Pak Jehrin di bawah lebatnya hujan dalam langkahnya menyusul Dirga.

Dirga hanya terdiam melanjutkan langkahnya yang mengarah menuju panti Cahaya Ibu, namun hari itu Pak Jehrin bukanlah melukis Enzy, melainkan sosok Dirga dengan menggunakan seragam Sma Dharma Bakti dengan perasaan cemas sambil duduk di Halte Sma Tunas Mandiri A, seraya menggenggam bunga Edelwise Jingga miliknya. Dan tertulis di bawahnya. RIP Dirga Utama, 4 April 2017

Di depan pintu panti, Irham sudah menunggu kedatangan Dirga di teras pantinya. Namun dengan keadaan basah kuyup Dirga tak menyapanya sedikit pun, justru langsung masuk ke panti.

“ Kak, Kakak sudah tahu semuanya?,” tanya Irham

Dirga hanya diam, sambil mengangguk.

“ Ada yang ingin Irham tunjukkan padamu Kak, Ayo, ikuti Irham!,” seru Irham pada Dirga yang masih terdiam, namu perlahan Dirga beranjak mengikuti langkah Irham. Irham bergerak menuju ruang bawah yang tak satu pun orang bisa memasukkinya, namun pernah tak sengaja dimasukki oleh Dirga. Dan kali ini Irham yang membawanya kembali ke ruangan itu, masih sama, tak ada tata letak yang berubah terlalu signifikan, tapi satu hal yang masih menjadi rahasia. Yakni sebuah kain yang menutupi entah kanvaskah atau bingkai, karena bentuknya berupa persegi panjang. Seketika kain itu ditarik oleh Irham.

Betapa terkejutnya Dirga melihat sesuatu dibalik kain putih itu, itu adalah sebuah lukisan, gambar yang menjadi refleksi dari wajahnya dan Ervi saat memasuki sekolah yang berbeda, dalam lukisan itu Dirga menggunakan seragam Sma Dharma Bakti dan Ervi dengan seragam Sma Tunas Mandiri. Di bawah lukisan tersebut tertera tahun lukisan itu dibuat yakni 2016, tahun ajaran baru bagi siswa-siswi di setiap angkatan. Kemudian Dirga mengingat kembali memorinya yang hilang, bahwa lukisan itu sebagai permintaan Dirga pada Pak Jehrin untuk digambarkan, dan dari sanalah Dirga dan Ervi mengenal Pak Jehrin. Lukisan itu sebagai hadiah ulang tahun untuk Ervi.

“ Jika Kakak sudah mengingatnya, Akan Irham perjelas mengapa lukisan itu diletakkan disini. Kak Ervi tidak sanggup mengingat kepergian Kak Dirga melalui tragedi kecelakaan Kak Dirga, sehingga Ibu meletakkannya di ruangan ini,  agar setiap orang yang menjadi saksi peristiwa itu tidak terngiang dan teringat akan kepergian Kak Dirga,” ujar Irham.

Dirga pun menangis sejadi-jadinya, Dirga berjalan di tengah hujan sambil melambaikan tangan dan masih mengenakan seragam sekolahnya itu ke arah Irham yang berada di depan teras. Mulai hari itu, Dirga tak pernah kembali lagi.

 

Selasa- SMA Tunas Mandiri.

Seluruh siswa berkumpul untuk melihat pengumuman kelulusan mereka, yang berada tepat di papan pengumuman bersebelahan dengan kelas Ipa 1. 3 tahun berturut-turut peringkat pertama dari jurusan sosial masih dipegang oleh Ervi,  Ervi bahagia sekali melihat kelulusannya sebagai siswi dengan peringkat teratas, dan berhasil masuk ke perguruan tinggi impiannya melalui jalur undangan. Ervi berjalan menuju gerbang bersama lelaki tampan yang sudah menjadi kekasihnya itu, Virgo. Ervi menatap Halte Sma Tunas Mandiri A, namun tak Ervi temui sosok Dirga lagi. Di sebrang jalan terdapat Irham dan Pak Jehrin yang menatap ke arah Ervi sambil tersenyum, Ervi pun membalas senyuman itu dengan tulus. -end

(HALTE SERIES- ENAM): Sabtu, A poem, An Edelweis

 

Sabtu pagi menyongsong semua pengharapan yang sedari kemarin Dirga tanam, dan hari ini akan Dirga tuai saat mendengar sua dari suara Ervi. Namun, Sekolah Dharma Bakti menjalankan Full Day School, sehingga di Sabtu ini membuat Dirga tetap berada di Panti Cahaya Ibu. Maka, Ia berniat menemui Ervi sepulang dari sekolahnya, di tiap akhir pekan, semua siswa hanya mengikuti pelajaran muatan lokal atau olahraga di SMA Tunas Mandiri.

Rasa penasaran mulai menghanyutkan Dirga untuk  membuka isi buku milik Ervi, dengan judul “ Puisi Keabadian” itu. Halaman depannya Dirga buka perlahan yang menampakkan sebuah biodata singkat Ervi. “ Erviana  Sahraniza, Social 3, live at St. Jiwa Pura No.1101 rt. 09,” alamat  yang tertera tersebut ternyata berada tak jauh dari sekolah SMA Tunas Mandiri, komplek perumahan elit kelas atas.

Lanjut jemari Dirga menelurusi tiap halaman yang ada. Di dalam buku itu berisi tentang  puisi-puisi milik Ervi dengan berbagai tema, seperti perjuangan, sahabat, cinta, dan sampailah Dirga di akhir bacaannya, halaman terakhir, tulisan yang paling mengetuk perasaan Dirga adalah, puisi tentang memiliki sebuah kehilangan



Hilang, Ervi.

Apa yang paling  membuat seseorang menjadi takut?

Jatuh?

Dianggap asing?

Atau justru kehilangan?

Kehilangan, pikirku.

 

Ia adalah jawaban, saat masa memaksa untuk mengambil yang berharga dari kita

Hilang adalah kata sifat, yang tak pernah terlintas dalam benak seseorang.

Karena siapapun ragu atas kehilangan, apalagi untuk memilikinya.

Kehilangan terbesar bukanlah dipisah oleh jarak antar pulau, samudra, bahkan planet

Tapi yang terberat adalah, berpisah karena dimensi ruang juga waktu

Yang seutuhnya mengharuskan manusia untuk  mencintai kehilangan itu.

 

4 April 2017

Dirga menutup buku itu, tubuhnya hanya diam dan hatinya merasa tersentuh dengan karya Ervi. Sekagum itu Dirga pada Ervi yang ternyata juga pandai dalam menggoreskan tinta emasnya menjadi untaian kata penuh makna, mendalam.

Pukul menunjukkan ke arah jam sebelas tepat Dirga sudah menunggu,  semua siswa keluar dari Sma Tunas Mandiri. Yang biasanya terjadwal 5 menit lagi, yakni 11.05“ Kringgggg,” bel berbunyi menuju ke gendang telinga Dirga, satu per satu siswa-siswa keluar ke arah gerbang, dengan menggunakan baju olahraga kebanggaan Sma Tunas Mandiri yang berwarna biru dongker itu.

Dirga terus memantau orang-orang yang pulang mulai dari yang naik mobil, motor, transportasi umum, hingga yang berjalan kaki. Tepat diantara gerombolan siswi, Dirga akhirnya mendapati Ervi. “ Dirga,” ujar Ervi dari kejauhan. “ Dirga mana Vi? Anak Sma Dharma Bakti?,” sahut salah seorang wanita dengan rambut keriting dan memiliki kulit sawo matang, sambil menoleh ke arah halte Tunas Mandiri A yang dipenuhi rasa  penasaran.

Seketika Ervi langsung mengalihkan pembicaraannya terkait sosok Dirga. “ Enggak, itu Aku teringat tetangga Aku namanya Dirga, ada acara di rumahnya, Aku harus buru-buru. Maaf ya semua, Aku duluan, “ jawab Ervi kala itu, demi mengakhiri obrolan mereka dengan singkat.

Ervi pun berjalan menuju Dirga yang membalikkan pandangannya, Dirga salah tingkah dibuatnya.

 “ Dirga, Kamu ngapain disini? Kamu kan ga sekolah,” ucap Ervi.

“ Hmm.. sebenarnya Aku ingin mengembalikan buku ini Ervi, Aku tidak sengaja menemukannya. Dan Aku cuma ingin memberikannya padamu Ervi,” balas Dirga.

Ervi pun mengambil dengan cepat buku itu tanpa mengucap terima kasih, raut wajahnya menahan kesal namun tidak bisa memarahi Dirga. Saat itu juga Dirga menceritakan bahwa Ia tidak sengaja melihat buku tersebut untuk mengetahui siapa pemilik buku tersebut.

“ Kamu baca hingga halaman terakhir Dirga?,”tanya Ervi dengan rada terbata-bata.

“ Iyaa.. Ervi. Sungguh itu puisi yang indah, hingga membuatku tak mampu berkata-kata,” balas Dirga.

Ervi pun pergi meninggalkan Dirga tanpa pamit, dengan membawa buku miliknya itu, tiba-tiba Dirga meneriakki Ervi dari jarak yang masih cukup dekat. “ Ervi Aku menyukaimu, mengagumi senyumanmu. Izinkan Aku memiliki senyuman itu Ervi!,” teriak Dirga dari arah belakang.

Seketika Ervi pun membalikkan badannya dan terlihat Dirga memegang seikat bunga Edelweis jingga lalu diberikannya pada Ervi. Ervi dari raut marah kini berubah menjadi tangis. Tapi Dirga tak tahu apakah itu tangisan haru, sedih, atau bahagia?.

“ Besok Kamu bisa temui Aku, jam 10 usai ekstrakulikuler siswa berakhir dan Kamu akan tahu jawabannya,” ucap Ervi sambil menghapus airmata yang tak sanggup Ia bendung.

Ingin rasanya di hati Dirga, untuk mengusap air mata yang membasahi kedua pipi Ervi. Lalu mobil Alphard hitam melintas melewati halte Tunas Mandiri A. Ervi pun berlari dan memasuki mobil tersebut, yang membuat Dirga heran, bahwa selama ini Dirga ketahui Ervi selalu naik bus. Ervi pun ke arah berlawanan dengan Dirga dan mendahuluinya, sontak Dirga pun memutarkan badannya ke arah Ervi yang berlari sambil menangis. Namun sepersekian detik kepalanya masih melihat ke arah Dirga dengan ekspresi sendu tak henti-hentinya, lalu dilanjutkan dengan berlari dan memasukki mobil itu di bagian kiri depan, persis tepatnya di samping kursi supir.


Dirga hanya terdiam dan merenung sesaat, selepas peristiwa itu Dirga menyebrangi jalan menuju halte Tunas Mandiri B tepat di sebrang Sma Tunas Mandiri. Dirga menoleh ke arah kanan, tanpa disangka lelaki peluki itu selalu ada, namun Dirga tak menghiraukan keberadaannya. Ia lebih memilih diam dan Pak Jehrin lebih memilih fokus dengan lukisan “Enzy” miliknya. Sudah dapat ditebak oleh Dirga, Dirga pun pulang menuju pantinya. Tapi tiba-tiba bayangan mata Pak Jehrin mendapati seperti sosok Dirga, dari sebrang jalanan halte Tunas Mandiri A bersama wanita tercantik di Sma Tunas Mandiri seolah terjadi konflik diantara keduanya, Pak Jehrin hanya bisa bersikap bijak.

“ Nak, tekadmu memang kuat! Sama seperti yang dulu-dulu,” teriak Pak Jehrin dari kejauhan yang mampu dijangkau oleh telinga Dirga, sambil menoleh ke arah kanan. Lalu kembali mengecat lukisannya. Kepala Dirga hanya melihat arah kanan tanpa menoleh bahkan membalikkan badannya, Dirga menggubris ucapan Pak Jehrin lalu melangkah pergi. 

(HALTE SERIES-LIMA) : Jum'at, A Conversation, Ervi's book

 Semenjak peristiwa kemarin, Dirga memutuskan untuk tidak bersekolah. Ia ingin mengistirahatkan sejuta pemikirannya dan berbagai rasa penasarannya, yang sedikit demi sedikit terbayar. Jum’at merupakan hari libur bagi anak-anak panti yang masih memiliki keluarga, memang tidak semua anak Panti Cahaya Ibu terlahir dengan kondisi orang tua mereka yang menelantarkan, namun ada yang masih memiliki orang tua tetapi, mereka hidup dalam kondisi yang kurang mampu, dan ada juga orang tua yang sakit-sakitan, sehingga banyak yang terpaksa menitipkan anaknya di panti ini bahkan sedari mereka kecil.

Secara otomatis Panti Cahaya Ibu menjadi kurang penghuninya, Dirga menuju ruang kemarin yang ditemuinya di ujung koridor bawah, yang berisi lukisan. Namun, kondisinya sudah terkunci dan tertutup rapat. Berbeda saat pertama kali Ia temui yang tak dikunci dan mudah sekali Dirga buka.

Akhirnya Dirga putuskan untuk naik ke Balkon panti, kali ini balkon tak diisi oleh satu pun orang. Setiap orang bersekolah dan memiliki agenda mereka masing-masing. Dirga yang bingung dan bosan, membuatnya melihat dinding-dinding balkon yang ditulis dengan berbagai cita-cita penghuni panti, ya penghuni panti dari era ke era.



Dan berakhir pada belakang bangku kayu yang dibuat anak-anak, hal itu menghentikan pandangan Dirga, perlahan Dirga mengambil posisi setengah jongkok, karena di sana terdapat sebuah tulisan yang tertera “ Henzie dan Jehrin, kuharap Tuhan selalu menjaga persahabatan kami, dan terus diberikan waktu untuk bersama, dan berbagi cerita.. aammiinn. 30 Maret 1999,” tulisan itu nampaknya tersembunyi dan baru diketahui oleh Dirga, tulisan yang digoreskan 2 hari setelah hari ulang tahun Enzy, dan berhasil Dirga lihat saat Ia menghapus beberapa debu yang menutupi permukaan bangku kayu tersebut, tulisan itu sengaja diukir dengan rapi. Mungkin dengan tujuan tak bisa sirna walau hujan datang, atau tak lekang oleh arus waktu. Pikir Dirga.

“ Hei, Kakak ngapain?,” seseorang membisikkan suara halusnya di telinga Dirga. Sontak  Dirga terkejut dan mencoba berbalik arah lalu mengambil posisi berdiri.

“ Eh Kakak ga ngapa-ngapain kok, Kamu tidak sekolah ya?, Kakak laporin ibumu nanti,” sosok Irham yang Dirga ketahui membuat pecah konsentrasinya pada tulisan usang yang sepertinya milik Enzy itu.

“ Ini sudah Jam 10 Kak, Jum’at kan pulangnya cepat,” jawab Irham dengan nada polosnya

Dirga hanya tersenyum dan merespons dengan tingkah yang menunjukkan bahwa Ia lupa, “ oh iya ya hehe,”

Dirga dan Irham mengambil tempat duduk tepat di bangku yang tertulis oleh harapan Enzy tersebut. Dengan dihiasi langit cerah berawan namun, tetap sejuk mereka melihat pemandangan sekitar dari atas balkon panti.

“ Ham, Kakak mau tanya. Tapi, Kamu harus jawab jujur ya,” tutur Dirga pada Irham yang duduk di sebelah kirinya.

Sepersekian detik, Irham membalas dengan anggukan.

“ Baiklah, Kamu pernah tahu ga tentang, penghuni panti yang bernama Enzy dari Ibumu?,” ucap Dirga.

“ Setahu Irham, Ibu pernah cerita sedikit tentang Enzy. Karena waktu itu Irham melihat sosok lelaki tua, yang sering menggunakan baret seperti pelukis terus ke panti dari Irham kecil, beliau merupakan donatur panti yang mengikuti jejak estafet orang tuanya yang menjadi donatur juga. Kalau tidak salah nama bapak itu Jehrin, tapi Irham lupa nama belakangnya, yang pasti dia punya darah ningrat. Karena penasaran Irham tanya ke Ibu tentang beliau, kata Ibu beliau merupakan teman Ibu yang lebih tua usianya dan teman Enzy. Enzy merupakan keturunan Belanda yang lahir tanpa tahu siapa kedua orang tuanya dan  dimana, namun kejadian naas menimpa Enzy kala Ia berhasil menyelesaikan studinya  SMAnya di usia 17,” ujar Irham.

Dari ekspresi Irham, Ia takut dan ragu untuk menceritakannya kembali. Namun, dengan rasa keberanian yang dikumpulkan oleh Irham akhirnya, dilanjutkannya cerita Enzy pada Dirga sembari diyakinkan oleh Dirga untuk melanjutkannya.

“ Ia juga meninggal ditabrak mobil yang melintas, di depan SMA Tunas Mandiri saat Enzy ingin menyebrang jalan, yang pada hari itu, terhitung tanggal 4 April 1999, merupakan hari perpisahan sekolah bagi siswa-siswi SMA Tunas Mandiri angkatan tahun 1999,” tutur Irham yang perlahan menundukkan pandangannya.

Akhirnya perlahan-lahan, setiap peristiwa mulai terbongkar dari cerita Irham. Bahwa tanggal yang ditulis di bawah lukisan pertama Pak Jehrin adalah tanggal kematian Enzy. Sejenak sebuah mobil Jeep di depan pintu panti memikat atensi Dirga dan Irham, yang sepertinya kunjungan donatur panti seolah perlahan menghentikan percakapan Dirga dan Irham tentang Enzy.

“ Apa mungkin itu Pak Jehrin Ham,?” tanya Dirga mungkin seperti pucuk dicinta ulam pun tiba.

“ Bisa Irham pastikan bukan, itu mobil keluarga Soepriyanto Prahasukma Jaya, donatur tetap panti ini dari kak Dirga kecil. Isunya anak perempuan pak Praha bersekolah di SMA Tunas Mandiri juga, tapi Irham tidak tahu namanya,” tutur Irham

Pandangan Dirga terus membidik siapa sosok yang berada di dalam mobil Jeep itu, dan betapa terkejutnya Dirga, bahwa yang pertama kali Ia lihat adalah Ervi. Gadis pujaan hatinya yang masih Dirga simpan cintanya. Terlihat Ervi masih menggunakan pakaian sekolah, yang menunjukkan bahwa Ia dijemput setelah jam pelajaran berakhir, sambil memegang sebuah buku coklat bersampul kuning keemasan, yang sepertinya itu buatan tangan Ervi. Dirga pun mengajak Irham untuk turun membantu, tapi Irham menegaskan bahwa, pihak donatur pasti hanya ingin memberi supply uang dan sembako sehari-hari saja, terlalu banyak anak di bawah untuk diawasi, sehingga Irham membujuk Dirga agar tetap berada di balkon. Dirga pun meng-iya-kan permintaan Irham.

Selang beberapa menit kemudian, benar saja ramalan Irham berhasil terprediksi dengan tepat. Ervi dan orang tuanya kembali menuju mobil Jeepnya. Dan buru-buru mereka bergegas pulang. Setelah kepulangan Ervi, Dirga dan Irham pun menuruni balkon panti, terlihat kondisi panti sudah mulai sepi, anak-anak mulai bermain lagi di pekarangan, bahkan ke rumah karib dan sahabat mereka. Namun, satu benda terlihat di pelupuk mata Dirga, dari kejauhan Dirga sangat yakin, bahwa benda yang Ia lihat adalah buku milik Ervi, yang dibawanya saat keluar dari mobil. Lebih jelas terlihat, buku itu tertulis

“ Puisi Keabadian, Erviana Sahraniza. Ilmu Sosial 3,”. Dirga akhirnya menemukan jalan untuk bertemu dengan Ervi kembali, besok akan Ia temui gadis itu. Untuk mengembalikan buku milik Ervi, dan sepertinya buku itu adalah ‘benda’ yang menjadi kesengajaan untuk  Ervi tinggalkan. Pikir Dirga dengan besarnya perasaan sepihak miliknya.

 

(HALTE SERIES- EMPAT): Kamis, JEHRIN, Memory of ENZY.

 Rabu berlalu begitu saja, menjelma menjadi kamis seketika. Seolah waktu cepat berdesir dan sirna, meninggalkan setiap rekam jejak penuh makna dari berbagai cerita yang tercipta. Rasa penasaran merupakan rekam jejak yang timbul dari nurani dan benak yang bergejolak, sehingga mendorong Dirga untuk mencari tahu, siapa wanita yang dimaksud Pak Jehrin sebagai sosok Enzy itu? Apa kaitannya dengan Panti Asuhan Cahaya Ibu? Dan apa hubungan Pak Jehrin dengan gadis Belanda di lukisan yang Dirga temukan.

“ Jam delapan lewat lima belas menit bung Dirga. Bolos lagi?, hobi sekali sepertinya kamu membolos. Jangan bicara jika itu adalah takdirmu hari ini!, itu benar-benar settingan,” ujar Pak Jehrin sambil melukis di pinggir Halte Tunas Mandiri serta tanpa melihat Dirga, Ia sudah merasakan kehadiran Dirga di dekatnya, walaupun Pak Jehrin sedang fokus dengan palet dan cat miliknya itu.

“ Sengaja,” pungkas Dirga dengan raut wajah datar yang memang sedikit menyimpan kesal kepada lelaki pelukis penuh rahasia ini.

Pak Jehrin diam tanpa tanggapan, hanya sekadar menatap Dirga yang berdiri di depannya dan mencoba membuat suatu bayangan yang membuat pandangannya menjadi lebih gelap. Setelah itu, Ia justru lebih memilih fokus untuk melanjutkan lukisannya kembali.

Sadar akan hal itu, Dirga mencoba mengambil tempat duduk membelakangi Pak Jehrin yang berada di posisi kanannya, lagi dan lagi, masih gadis yang bernama Enzy itu yang dilukisnya. Semakin mengherankan pikir Dirga, “Seperti tidak ada objek lain saja. Mengapa harus human interest?, lebih tepatnya mengapa harus wanita itu lagi?. Lelaki ini memang sudah gila!,” gumam Dirga dalam hatinya.

Benar saja, selalu ada signature dan tulisan-tulisan aneh yang mengakhiri lukisan Pak Jehrin, Dirga yakin itu bukanlah quotes biasa melainkan, layaknya sebuah percakapan singkat antara Pak Jehrin dan wanita yang bernama Enzy itu.

Today is a Beautiful Day, but You can’t see it with me. Enzy

“ Hei, Lelaki pelukis tua!, Kau ini siapa sebenarnya?,  jangan hidup dalam sebuah pengandai-andaian. Aku sudah muak dengan apa yang Kau buat selama ini. Aku sudah tahu bahwa Kau adalah seorang stalker fanatik. Dan gadis yang Kau lukis itu, merupakan anak Panti Asuhan Cahaya Ibu kan? Berentilah melukisnya, Aku tahu dia sudah tidak ada di dunia ini. Ayo, jujurlah!,” sambar Dirga dengan amarah yang membuatnya lelah dengan semua rahasia yang tak jelas ini.

Pak Jehrin memutar badannya secara menyeluruh. Palet yang Ia pegang masih menyisakan warna-warni cat yang melekat, tiba-tiba sengaja Ia jatuhkan. Badannya perlahan mendekat ke arah Dirga, kakinya melangkah pelan-pelan. “ PRAKKK!!,” suara tamparan keras berhasil mendarat ke pipi Dirga, dari tangan Pak Jehrin yang diam dalam tindakannya.

Pak Jehrin mencoba memutar kembali arah badannya, sekarang posisinya membelakangi Dirga kembali. ”Anak muda macam Kamu ini, mudah sekali penasaran, mudah sekali tersulut emosinya. Sampai pada akhirnya hal itu menutupi otak dan logikamu untuk berpikir. Cobalah berpikir dulu sebelum berkata dan bertindak!,” ujar Pak Jehrin dengan nada santainya, namun langsung menusuk ke relung hati Dirga.

“ Saya cuma ingin Bapak Jujur!,” jawab Dirga yang masih tersulut dalam amarahnya.

“ Kamu ingin Saya jujur? Baiklah. Memang, Gadis itu adalah penghuni panti yang sama dengan yang Kamu tempati saat ini. Dan yang harus Kamu tahu Nak, Aku bukanlah penguntit fanatik. Sekarang akan Kuceritakan siapa Dia,” ujar Pak Jehrin seraya menatap ke arah depan, satu tuju bermuara pada kisahnya dengan Enzy 20 tahun yang lalu.

 

Halte SMA Tunas Mandiri, Januari 1999

 JEHRIN POV


Takdir memang sekonyol itu untuk bisa mempertemukanku dengannya, pada hal yang tak disangka-sangka, gadis berdarah Belanda ini sungguh ramah dan baik hati, berbeda dari gadis-gadis belanda  lain yang berada di Sma Tunas Mandiri ini. Beruntung sekali Aku bisa menjadi teman satu angkatannya walaupun berbeda kelas, dan perlu diralat, Ia bukan orang Belanda asli, melainkan campuran darah orang Indonesia dan Belanda. Jiwa kepemimpinan dan kharismanya sungguh memukau, cerdas, lugas, serta pandai bergaul. Hingga saat ini Aku selalu mengaguminya.

 “Henzie Arabella Annemie”, Aku memanggilnya dengan nama Enzy. Nama yang menjadikan identitas negara Belandanya semakin kuat, dengan wajah Ayahnya yang seorang Belanda, menjadikan penampilannya terdominasi akan hal itu. Dan Aku adalah seorang pribumi yang terlahir dari keluarga kaya, serta memiliki darah seniman, menjadikan Aku sebagai pelukis introvert yang hanya memiliki teman ala kadarnya, membatasi ruang sepermainanku kala itu, Aku malas berinteraksi dengan mereka yang katanya ‘hebat’ tapi hanya bisa menindas, yang katanya ‘kaya’ namun sulit untuk berbagi, yang katanya ‘pintar’, justru tak mau memahami arti mencerdaskan kehidupan bangsa bersama, di balik itu semua, tak sedikit juga yang hatinya baik. Lagi-lagi Aku dan otakkulah yang memilih untuk menutup diri dan terus memikirkan hal-hal buruk yang akan terjadi, jika menjalin pertemanan dengan orang lain, sekalipun orang tersebut terlihat ‘baik’.

Pawai kesenian membawa Aku dan Enzy berkolaborasi menjadi tim kreatif seni, Ia dikenal sebagai sosok yang multitasking sehingga  dipercayai kepala sekolah untuk menjadi ketua pelaksana acara kami, di sisi lain tim dekorasi tidak ada yang mau menjadi ketua divisinya, entah angin apa yang membawa pertemuanku dan Enzy di pojok galeri SMA Tunas Mandiri?, setiap jam istirahat selalu Aku habiskan waktu dengan melukis di pojok galeri. Mulai dari melukis pemandangan, hingga objek berupa tumbuhan dan hewan, Aku tak pernah mau menggambar manusia, tidak ada sisi yang menarik dari sisi penggambaran manusia, yang di setiap masa pasti selalu berubah-ubah, lukisan akan tetap diam, membeku, menetapkan ekspresi, yang terkadang berlawanan dengan karakter sebenarnya. Itulah alasan Aku menolak melukis objek berupa manusia.

“ Gambarmu bagus, lebih tepatnya lukisan pemandanganmu, sepertinya itu suasana musim gugur hehe. Kamu sepertinya sudah ahli ya,” suara perempuan terdengar dari bagian belakangku, lembut namun tegas.

“ Terima kasih, tapi kumohon jangan sok tahu. Aku melukis suasana negara tropis. Ini Indonesia,” ujarku tanpa melihat siapa sosok itu, begitu cueknya diriku hingga Aku tak memiliki teman dekat.

Tiba-tiba perempuan yang berbicara di belakangku mengambil posisi berlawanan, yakni menghadap ke arahku yang masih fokus dengan lukisan yang kubuat, dan sibuk dengan kuas yang tertoreh di kanvas milikku. Tatapku heran pada gadis keturunan Belanda, yang berada di Kelas Fisika 2, letakknya bagiku cukup jauh dari kelasku; sosial 3, yang berada di lantai 3 paling atas sudut kanan sekolah kami, bahkan dari kelasku, pemandangan kota bisa Aku nikmati dari sana, sedangkan kelasnya berada di lantai dasar, koridor kedua. Pandanganku pun tertuju pada daftar absensi kelas yang Ia bawa. Sepertinya Ia bertugas membantu guru mengambil daftar absensi tiap kelas, pikirku.

“ Baiklah, maaf jika Aku yang sok tahu tentang lukisan musim gugur milikmu itu hehe. Tapi, Aku membutuhkan bantuanmu dalam menyukseskan pawai kesenian sekolah kita, kuharap engkau mau. Oh ya sebelumnya kenalkan Aku Enzy. Siapa namamu?,” tanpa jeda dan tanpa aba-aba Ia langsung menembak perkataannya padaku, untuk bekerjasama dengannya.

“ Terima kasih atas tawaranmu, tapi Aku tidak bisa, lebih tepatnya Aku tidak mau. Kau cari saja anak yang lain, yakinlah Aku tidak bisa diandalkan, soal namaku itu bukanlah hal yang penting untuk Kau ketahui” tolakku waktu itu, tanpa pikir panjang.

Ia masih memohon dengan wajah yang cukup membuat sebagian orang iba padanya, tapi tidak dengan diriku. Aku kekeh menolaknya.

“ Hmm, terima kasih atas penolakkanmu. Tapi ini atas nama sekolah, kita bisa berkolaborasi disini. Karena Aku menjadi ketua pelaksananya maka,  Aku yakin kamu bisa,” balasnya lagi.

“ Kurasa itu bukanlah urusanku, pergilah dan carilah orang lain serta jalankanlah tanggungjawabmu !,” ucapku yang masih tertuju pada objek yang kulukis.

Seketika, Gadis itu berjalan perlahan melewati Aku yang tetap saja sibuk pada lukisanku,

“ Jika Kau berubah pikiran, Aku tunggu hingga dua hari ke depan. Karena pawai akan diadakan satu bulan lagi. Aku tunggu kontribusimu, terima kasih,” dan itulah kalimat terakhirnya untuk menutup setiap permintaan yang Ia ajukan padaku. Dengan terdengar suara lonceng masuk, maka  jam pelajaran kedua pun dimulai.

Semua anak SMA Tunas Mandiri mengambil posisi untuk keluar kelas, karena waktu menunjukkan pukul dua siang, yang menjadi pertanda bahwa  jam pelajaran akan berakhir, dan tiba-tiba lonceng pun berbunyi, seketika semua siswa pun pulang.

“ Cornelis, besok kita kerja kelompok lagi ya.  Tadi kan ada tugas matematika nanti Aku ajarin, Aku ke rumah kamu aja gapapa,” ujar Enzy pada sahabat sebangkunya itu, Cornelis Tjienna Marianne, Gadis keturunan Belanda namun, ibunya merupakan seorang konglomerat yang berkesempatan belajar ke  negeri kincir angin dan menikah dengan kaum etis Belanda dan pada akhirnya memutuskan untuk  bersekolah di Indonesia, SMA Tunas Mandiri.

Cornelis hanya diam, dengan raut wajah seolah tidak mengenal sahabatnya itu. Ia berjalan tanpa pamit meninggalkan Enzy menuju ke depan gerbang, di sana Ia dijemput oleh supir pribadinya.

“Lis, kenapa? Aku salah apa? Kalau Aku ada salah, Aku minta maaf,” ujar Enzy yang masih mempertanyakan hal janggal yang disembunyikan oleh sahabatnya itu.

“ Mulai hari ini Kamu bukan temanku lagi Zy, semenjak Kamu datang ke rumahku. Kedua orang tuaku tidak menyukai pertemanan kita, khususnya Ayahku. Aku sadar jika kita ini tidak satu kasta, Kamu tidak jelas darimana asal-usul kedua orang tuamu, Kamu cuma anak panti Zy, atau jangan-jangan Kamu ini anak haram?. Entah Zy, yang pasti sedari kecil siklus pertemananku pun sudah diatur oleh orang tuaku. Dan satu hal yang harus kamu pahami, walaupun kita sama-sama keturunan Belanda, tapi kamu tak pantas bersahabat denganku!,”perkataan Cornelis menusuk relung hati terdalam Enzy, seraya masuk ke mobil dengan menutup keras pintunya sebagai tanda pengusiran tidak hormat dari Cornelis, bagai tersambar petir di siang hari bagi Enzy ketika  mendengar kata-kata dari sahabatnya yang sedari 3 tahun lalu Ia kenal.

Airmata Enzy perlahan berjatuhan membasahi kedua pipinya, dengan langkah pelan dan sendirian, Ia menuju Panti Cahaya Ibu, walau Ia coba membasuh air matanya dengan seragam sekolah miliknya, lagi-lagi airmata itu tak mampu Ia bendung. Sesampainya di panti, beruntunglah masih banyak orang  yang menyayanginya, adik-adik Panti memeluknya di depan teras, dan diakhiri dengan dekapan Ibu Panti; Bu Sarah yang telah memiliki anak perempuan satu-satunya, yang ikut memeluk Enzy juga;Triana Ningsih Rahayu.

Rumor tentang Enzy yang tinggal di Panti Asuhan Cahaya Ibu dari bayi, membuatnya dikucilkan oleh sahabat dan golongan orang-orang Belanda yang dulu dekat dengannya. Karena bagi mereka, Enzy merupakan hama yang harus dibasmi, dan tak pantas diberi tempat di sekolah itu. Dan dirasa merusak reputasi sebagian kaum Belanda yang terkenal tajir dan kaya raya, dengan status keturunan yang jelas. Hingga sampai kebanyakan dari mereka berani mengecap Enzy dengan julukan “Anak Haram”

Tanpa ada rangkaian kata, Cornelis yang pada awalnya duduk sebangku dengan Enzy, kini sudah beralih dengan sahabat yang dianggapnya satu kasta dan memiliki bibit serta bobot keturunan yang jelas. Enzy akhirnya ikhlas dan pasrah  untuk duduk sendirian.

Jam istirahat dimulai, waktu tersisa tinggal sehari lagi , Enzy masih menunggu jawabanku yakni sang anak sosial 3 dengan karakter tertutup dan cenderung anti sosial ini, untuk bisa bergabung menjadi tim kreatif seni sekolah. Di sana, Aku melihat Enzy duduk sendirian di taman baca sekolah, namun, yang menjadi keanehan sebelum Ia datang, tempat itu memang menjadi markas perkumpulan siswa  keturunan Belanda untuk sekadar berkumpul dan berbincang, entah apa yang dibicarakan,  yang jelas Aku tidak terlalu memperdulikannya. Hingga suatu waktu saat Enzy mengambil posisi untuk duduk di tempat  yang  tersisa,  yakni di bawah pohon beringin sebelah kanan yang mengarah ke gerbang SMA Tunas Mandiri, Aku mendengar suatu kalimat yaitu“ Lihat, itu Enzy si anak haram sang perusak reputasi!,” ujar salah satu dari mereka.

Dari isu yang beredar, Enzy merupakan anak tentara Belanda, yang pada saat itu dilarang keras untuk mencintai bahkan menikahi seorang pribumi, jika para tentara itu melanggar maka, mereka akan dikeluarkan dari pasukan militer Belanda, dan dianggap sebagai pengkhianat. Namun, karena rasa cinta ayah Enzy terhadap Ibunya, hubungan gelap pun mereka lakukan tanpa terjadinya sebuah pernikahan, hal inilah yang pada akhirnya akan terbuka, walaupun terus mereka sembunyikan. Alhasil ayah Enzy dikeluarkan dan dibunuh oleh pasukan Militer Belanda, karena sudah dicap sebagai pengkhianat, pangkat ayah Enzy dirasa tidak setara dengan status sosial yang dimiliki oleh ibu Enzy, yang berprofesi sebagai pembantu serta tidak mengenyam bangku pendidikan. Setelah kematian ayahnya, Enzy pun terlahir. Ibunya menitipkan Enzy ke Bu Sarah secara baik-baik, Ia berpesan bahwa,  jika Enzy bersama dengannya dia bisa menjamin, bahwa anaknya akan berada dalam kondisi yang  berbahaya dan terlantar. Semenjak saat itu, Ibu Enzy tidak pernah kembali lagi, Ia dikabarkan diculik oleh tentara Belanda sebagai budak sex mereka. Hingga berakhirnya masa kependudukan Jepang,  pun keberadaan ibu Enzy lenyap, karena selama itu Enzy tidak menemukan kepastian kondisi dari Ibunya, bahkan hingga Ia sudah menginjak kelas 12 SMA.

Mendengar hal itu, jujur Aku merasa terhidupkan kembali rasa empati yang kupunya, walau hanya sedikit. Aku jauh lebih beruntung dari Enzy yang kehilangan sosok kedua orang tuanya, bahkan sebelum Ia terlahir, hingga saat ini wajah kedua orang tuanya pun tidak ia ketahui.

“ Ini untukmu minumlah!, dunia ini memang terlalu kejam untuk seseorang yang tegar. Maka, janganlah berhenti berjuang!,” ucapku saat menyodorkan segelas minuman soda kaleng yang barusan kubeli dari kantin Tunas Mandiri, dan menjadi satu-satunya kantin yang berhasil memonopoli perdagangan di sekolah. Sejenak Aku tersadar, setan apa yang merasuki ragaku?, mengapa Aku bisa sebijak ini? Bukankah Aku tidak berada di posisi yang Enzy rasakan?.

Ia yang semula mencatat, kini berhenti. Dengan memegang minuman kaleng itu sebentar, diliriknya perlahan lalu diberikannya kembali kepadaku. Memang benar, bahwa memandang manusia dari satu masa akan menutup sebagian karakter, dan watak mereka di masa-masa yang berbeda. Aku tak marah dan tersinggung, mungkin memang bukan minuman itu yang Enzy butuhkan.

“ Aku Jehrin Aditama Nugraha Putra, Anak tunggal dari Bapak Djipto Soeryadiningrat. Aku mau menjadi bagian dari tim kreatif sekolah SMA Tunas Mandiri. Hmm Enzy, masihkah Kamu beriba untuk menerimaku?,” jawabku sambil memberikan kembali minuman itu pada Enzy, tepat di depan wajahnya.

Seketika Ia menatapku, dengan gerakan menarik dan membuang napas perlahan. Lalu dipegangnya kaleng soda yang kembali kusodorkan itu, ditatapnya perlahan dengan cekatan, namun santai.  Ia buka bagian atas kaleng itu. Betapa terkejutnya Aku saat air soda itu dibuangnya perlahan ke tanaman aglonema yang berada di sampingnya di hadapanku.

“ Hei, kau benar-benar tidak menghargai Aku!” Teriakku geram

Namun, disisakannya setengah minuman itu, lalu setengahnya lagi diminumnya. “ Air soda ini ibaratkan seperti Aku,  yang berada di posisi tertekan namun, harus dituntut tetap professional. Separuh itu kubuang atas penolakanmu, dan sisanya kuminum karena kesediaanmu. Dunia bukan hanya kejam namun penuh pembelajaran, bahwa hal-hal baik datang, tidak dengan cara yang mudah serta hadir dari orang-orang yang tepat. Terima kasih sudah mau membantuku, Kamu sebagai ketua divisi dekorasi dalam pawai ini, jadi kapan bisa kita mulai projectnya?,” dengan tatapan dan mata yang sedikit menyipit diikuti dengan senyum lebar milik Enzy,  di sana kulihat ada keoptimisan, nikmat juang yang tercipta, serta pembelajaran yang Ia sampaikan secara tersirat,   dari senyum tertulusnya itu Aku paham, bahwa darinya, langkah kebaikan bisa Aku dapatkan selain dari kedua orang tuaku.

Rasa ibaku muncul bukan hanya hari ini, melainkan setelah dipupuk dan ditumpuk dengan peristiwa yang bukan hanya Enzy yang merasakan, Aku yang tidak berada diposisinya pun bisa merasakan. Di setiap langkahnya pasti terpikir hujatan dan hinaan dari orang-orang yang Ia sayangi, sahabat dekatnya yang menjauhi. Aku berusaha menjaga jarak untuk memantau perjalanan Enzy yang berujung di Panti Asuhan Cahaya Ibu, tempat kedua orang tuaku yang menjadi donatur tetap di sana. Bahkan karena sifatku yang apatis ini, setiap kali mereka mengajakku untuk mengunjungi panti itu, pasti Aku selalu menolak, dan merasa malas bertemu dengan anak panti yang kuanggap tidak penting dan tidak berperan dalam kepentingan hidupku. Mungkin sejak Aku berada di bangku SD,  ibu dan ayahku menjadi donatur tetap di panti itu, dan mungkin juga akan menjadi cerita berbeda jika Aku bertemu dengan Enzy sejak kecil. Semua pasti terdapat hikmah yang mampu kupetik, dengan klimaks yakni seluruh anak panti itu memeluk Enzy di pekarangan rumah,  layaknya menunggu seorang yang baru pulang dari perjalanan panjang tak berkesudahan, dengan pelukan yang sepertinya berasal dari ibu panti yang terlihat menenangkan, dari kejauhan tak terasa Aku yang jarang menangis ini, seketika berlinang air mata, mungkin ini adalah momen yang Aku ulangi. Menangis karena suatu hal. Aku ingat sekali kapan terakhir Aku menangis, sekitar kelas 6 Sekolah Dasar. Di sana, terdapat rasa syukur dan kehangatan dalam keluarga,  meski mereka terlahir dari rahim yang berbeda,  walau Enzy dan anak-anak hidup dan berada dalam keterbatasan, sosoknya pada saat itu kunilai sebagai sosok yang tegar, mandiri, dan sederhana.

Hari demi hari Enzy dan Aku semakin dekat selayaknya seorang sahabat, hingga di akhir bulan Februari pawai yang kami gelar berjalan mulus dan lancar, berkat bantuan tim sekolah. Pesona Enzy semakin membuatnya terkenal dan disayang oleh para guru-guru. Namun tetap saja, Cornelis dan karib keturunan Belandanya yang lain tidak ingin menjalin hubungan persahabatan dengan Enzy kembali. Tapi Aku tetap bersahabat dengan Enzy, darinya Aku belajar bahwa,  semua berjalan dalam garis takdir yang semestinya, dan darinya Aku jadi lebih memahami arti dari rasa syukur.

 

28 Maret 1999, Panti Cahaya Ibu


Hari ini merupakan hari terakhir Kami menjalankan ujian yang diadakan sekolah, semoga Aku dan Enzy bisa lulus dengan nilai yang baik, walupun dengan latar belakang pendidikan yang berbeda. Enzy siswa Fisika 2 dan Aku, Jehrin siswa Sosial 3. Semua berjalan lancar, karena Enzy sering mengajari aku matematika. Pelajaran yang tidak Aku sukai lebih tepatnya, Enzy memang handal perihal rumus-rumus dan hitungan,  jari-jemarinya sigap saat mengerjakan soal-soal simulasi tanpa menggunakan kalkulator.  Sedari kecil, Enzy sudah mempelajari sempoa dari Bu Sarah,  yang berkesempatan belajar hingga batas SMP dan berprofesi menjadi guru. Ilmu bu Sarah berhasil diturunkan ke Enzy yang kemudian kembali diteruskan kepada adik-adik pantinya. Bahkan saat belajar menuju ujian pun Aku berkesempatan datang ke panti dan belajar di pekarangan panti bersama Enzy.

Bisa menjadi sebuah kebetulan, bahwa Enzy hari ini juga berulang tahun, Aku bersikap tak mengetahui itu, tapi Aku sudah berkolaborasi dengan Ningsih, anak pengurus panti yang usianya 3 tahun lebih muda dariku itu, untuk mengumpulkan seluruh anak-anak panti demi merayakan ulang tahun Enzy, semua ruangan begitu sepi, Aku pura-pura tak mengetahui bahwa seluruh orang sudah menuju balkon. Tiap ruangan sudah diputari dan dikelilingi oleh Enzy.

“ Rin, kita ke balkon!. Tinggal tempat itu yang belum kita cek,” ucap Enzy cemas dengan raut wajahnya yang perlahan mulai khawatir, karena terlihat dari gerakannya berlari menuju balkon paling atas Panti Cahaya Ibu. Aku mengikutinya di belakang namun cenderung agak sedikit lambat.

 Balkon sudah diisi dengan mereka yang menyayangi Enzy.  Dari Bu Sarah, Ningsih, dan adik-adik panti lainnya. Saat kaki Enzy menapak ke sana semua serentak berkata “ Selamat ulang tahun, Enzy!”. Satu per satu dari mereka mengucapkan do’a terbaik pada Enzy.

“ Jehrin, dia tadi bersamaku bu. Namun kemana dia?,” ucapnya pada Bu Sarah yang memberi ucapan personal dalam pelukkannya, Enzy heran

“ Itu nak Jehrin,” jawab Bu Sarah, seraya menunjuk ke arah belakang Enzy.

Saat itu juga, Aku bawa mawar merah, bunga itu adalah bunga kesukaan Enzy, bunga yang dinilai elegan bagi setiap mata dan itulah yang menjadikeistimewaannya.

“ Selamat Ulang tahun, Henzie Arabella Annemie. Semoga di usia ke 17 tahun ini Kamu bisa menjadi pribadi yang lebih baik. Dan persahabatan Kita selalu terjaga hingga maut yang memisahkan,” sambil memberikan bunga mawar merah yang kupersiapkan dari kemarin, dan berhasil kusembunyikan di dalam ranselku.

“ Terima kasih, Jehrin. Mulai hari ini mawar merah yang Kau beri telah menjadi milikku, akan kurawat dan kujaga layaknya persahabatan Kita,” seketika tangan Enzy mengambil perlahan mawar merah yang berada di tanganku. Semua orang bertepuk tangan dan bersorak bahagia tanpa ada aba-aba, Enzy pun tersenyum padaku.

 Pada hari itu, hari yang paling bersejarah bagi Enzy dan Aku. Bukan hanya sebagai hari terakhir ujian Kami, dan ulang tahun Enzy saja. Namun, hari itu merupakan momen pertama, Aku melukis sosok manusia di kanvas putih milikku, Enzy yang menggunakan seragam SMA Tunas Mandiri dengan memegang mawar merah, tatapannya kosong namun tetap memancarkan kharisma. Hingga membuatku gugup untuk melukisnya, karena bagiku gambar yang kulukis takkan sama dengan sosok Enzy sesungguhnya.

28 Maret 2019,  Halte SMA Tunas Mandiri B

“ Hmm, jadi Enzy adalah sahabatmu pak?, Ia juga berulang tahun hari ini pak?,” ujar Dirga yang merasa bersalah sudah menuduh Pak Jehrin sebagai sosok yang berpura-pura ramah selama ini, ternyata Dirgalah yang terlalu menaruh curiga padanya.

Pak Jehrin tidak mengeluarkan sedikit kata, namun Ia hanya mengangguk seraya membalas ucapan Dirga dengan pernyataan yang benar.

“ Jadi lukisan di ruangan bawah Panti Cahaya Ibu itu adalah lukisan pertamamu untuk Enzy?” lanjut Dirga penasaran.

Kali ini Pak Jehrin, justru membersihkan setiap perlengkapan melukisnya. Dengan sigap, dibawanya kanvas yang sudah tergambar dan hampir selesai itu, Ia buru-buru pergi walaupun waktu belum menunjukkan jam 12 siang, saat biasanya Ia pergi. Ia menatap ke arah Dirga sambil mengangguk lagi. Yang setelah itu, ditatapnya kembali arah depan dalam fokus miliknya, lalu pergi.

Selasa, 04 Agustus 2020

(HALTE SERIES-TIGA) : Rabu, An Orphanage, A room

Cahaya ibu, panti itu sudah lama berdiri. Mungkin telah mencapai setengah abad umurnya, dengan bertambahnya anak-anak di setiap tahun bahkan bulannya, entah apa yang membuat ‘mereka’, para orang tua rela meninggalkan anak-anaknya di tempat ini, bukankah setiap anak terlahir dari sebuah harapan? Bukankah anak adalah cara dan jalan dalam menjemput rezeki?, bukankah hadirnya mereka karena suci dalam fitrah?, dan tentunya, anak-anak itu menginginkan orang tua mereka menemani, dalam melewati garis takdir yang akan mereka lalui.


Tak sedikit dari para orang tua yang meninggalkan anaknya dengan meletakkan keranjang bayi, bahkan terbujur kaku dengan ‘bedongannya’ di depan pintu panti tanpa permisi, tanpa diperkenankan pengurus panti mengetahui, siapakah orang tua yang tega menelantarkan anaknya dalam keadaan dingin, terbalut selembar kain tipis, dan di tempat yang anak  itu tidak ia kenali?.


Sama halnya seperti Dirga, Ia tak mengetahui siapa kedua orang tuanya. Ia tak paham bahwa dunia begitu berat saat Ia hadapi sendirian, yang kondisinya jauh lebih parah dari bayi-bayi yang ditelantarkan di depan pintu panti, membuat iba bagi orang yang melihatnya. Dirga kecil lahir tanpa harapan, seolah-olah kehadirannya tak diinginkan, saat itu juga Ia dibiarkan tergeletak dengan tali pusar yang belum terputus, serta bukan kain tipis yang membalut tubuhnya, melainkan darah segar yang memeluknya di sepanjang malam, di depan Panti Cahaya Ibu, Ia tak menangis, Dirga kecil justru lebih memilih diam, memendam setiap perkara yang ke depannya akan Ia lewati sendirian, mungkin pada saat itu juga, Ia diharuskan untuk menjadi bibit yang kuat dan tegar, agar bisa tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik dan terbiasa dengan perkara dunia, yang dipikirnya hanya sekadar menjadi tempat singgah untuk menunggu sebuah kematian.


Hawa malam yang dingin, mengantarkan Dirga menuju balkon panti, sunyi dan sepi rasanya nikmat sekali untuk dirasakan, terkadang bagi penghuni panti sayang sekali untuk melewati momen ini. Malam menunjukkan pukul sepuluh, namun masih banyak anak yang bermain di atas balkon, dengan sigap Dirga menghampiri. Di ujung balkon itu ada sebuah bangku yang dibuat anak-anak untuk duduk bersantai, bercengkrama, kadang mereka juga sering mengadakan kegiatan belajar bersama. Dinding-dindingnya dihiasi lukisan dari tangan anak-anak yang tak diharapkan hadir itu, indah namun tersembunyi. Mereka yang berandai ingin menjadi seniman, ilmuan, dokter,guru, perawat, dan profesi- profesi dambaan setiap orang, hanya bisa mereka tulis di dinding-dinding itu, entah kapan akan terwujud, yang jelas kata adalah do’a bagi mereka yang menghasilkan tindakan, menuju mimpi yang besar.


Satu per satu anak-anak turun untuk beristirahat saat Dirga datang, jam tidur panti memang dibuat seefisien dan seefektif mungkin, agar anak-anak tidak bangun kesiangan. Seketika jari Dirga meraba setiap tanda tulisan di dinding itu, di sudut kanan bawahnya tertulis “ Aku Ingin jadi orang kaya, Dirga 2005” baca Dirga dalam hati, senyum keluh miliknya membawa memori masa kecilnya, yang pada saat itu, Ia berpikir bahwa dengan menjadi kaya, Ia bisa mengajak teman pantinya untuk tinggal bersama, makan enak setiap hari tanpa takut dan khawatir kelaparan, dan yang terpenting baginya adalah, dengan menjadi kaya, mungkin ibu serta ayahnya bisa kembali menemuinya dan hidup bahagia untuk menghabiskan sisa-sisa waktunya.


Perlahan, Dirga mengambil posisi di bangku buatan milik anak-anak panti. Langit malam terlihat jelas menampakkan cahaya bulan diiringi bintang-bintang, yang membuatnya hanyut dalam nestapa yang kerap kali tak pernah Ia inginkan.


“ Ibu..., Ayah... seandainya jika kalian disini, akan Aku ceritakan setiap perjalananku ke sekolah, bagaimana Aku mencari nafkah, menjaga adik-adikku di panti, bahkan saat ini Aku menyukai seseorang , apakah kalian tahu itu? haha... Aku bahagia sekali disini, tapi apalah daya jika kebahagiaan itu tidak kubagi kepada kalian, pasti sangat indah bukan? hmm semoga suatu saat nanti, kita dipertemukan di dunia ini, jikalau waktu telah memutus segala harapanku untuk bisa bersama dengan kalian di dunia ini, semoga di alam lain kita bisa hidup dan berbagi kebahagiaan yang sesungguhnya, dalam kekekalan dan keabadian, aammiinn,” ucap Dirga pada bintang dan bulan yang menemaninya dalam gelap malam, dan kali ini malam terlalu baik untuk hadir bersama dengannya, diiringi tetesan airmata yang jatuh membasahi setiap permukaan dan pori-pori di pipi tulus seorang anak,  yang mengharapkan kehadiran orang tua di sisinya.


Malam berlarut begitu cepat, hingga menunjukkan jam tiga dini hari. Dirga yang tak menyadari terlelap di balkon, tiba-tiba terbangun dan menuju kamarnya di sudut kiri, lantai bawah yang letaknya berada paling belakang, sontak membawanya kembali ke kamar solo miliknya itu, pertanda sebagai tempat anak tertua yang masih mau berada di panti dan menjaga adik-adiknya. Di koridor panti Ia menemukan sebuah ruangan yang cukup lusuh yang dipenuhi lukisan seukuran 30 cm dan telah dipajang, di sana terdapat beberapa lukisan seperti gambar pendiri Panti Cahaya Ibu di tahun 1955, para penghuni panti yang meninggal dari usia yang masih muda, hingga potret remaja bahkan dewasa, tepat di bagian tengah bawah sebuah lukisan gadis blasteran Belanda, dengan tatapan yang kosong sambil memegang bunga mawar berwarna merah, sungguh cantik, dan dilengkapi pakaian sekolah SMA Tunas Mandiri menambah kesan vintage bagi siapapun yang melihatnya, termasuk dengan Dirga yang familiar dengan wajah ITU,  karena seing Ia temui dalam lukisan sang lelaki pelukis jalanan. Pak Jehrin, sosok yang sering Ia lihat dan sering pula menghilang, dan di bawah lukisan itu tertulis “ Henzie Arabella Annemie, 1999”.


Hal aneh lainnya yang Dirga temukan yakni, sebuah kanvas tertutup kain putih yang masih terletak di tempat lukisan, dengan rapi menutup segala permukaan dan sudut lukisan, ukurannya pun jauh lebih besar, entah itu lukisan atau hanya kanvas kosong. Tanpa ragu perlahan Dirga membuka bagian bawah kain putih itu.


“ Kak, ngapain disini? Ini sudah adzan yuk keluar!,” teriak Irham sambil menggenggam tangan kiri Dirga, yang tiba-tiba memecah keheningan dan fokus Dirga, dan hampir membuatnya terkejut. Irham adalah anak panti yang paling dekat dengan Dirga, usianya sekitar 10 tahun, Irham dinilai sebagai sosok anak benar-benar peduli dan religius.

“ Astaga ngejutin aja Kamu dek, yaudah. Yuk kita keluar!, Kakak lupa dan ga sadar kalau sudah adzan,” jawab Dirga, seketika lukisan yang ditutup kain itu pun ditinggalkan oleh Dirga, ruangan itu langsung dikunci oleh Irham agar orang lain tidak bisa masuk dan mengakses apa yang ada di ruangan itu, sebagai amanah dari Ibunya, bu Ningsih. Ya Irham adalah anak bu Ningsih, sang pengurus panti.


(HALTE SERIES-DUA) : Selasa, SMA Tunas Mandiri, Introduce


Selasa pagi sungguh cerah terasa,karena langkah kaki Dirga melaju lebih awal dari hari Senin kemarin, kurang dari jam setengah tujuh Ia sudah berada di halte SMA Tunas Mandiri B. Di sana terlihat seorang wanita dengan blazzer hitam berkemeja putih dan dihiasi dasi kecil hitam serta rambut yang dikuncir kuda, Ia duduk tepat di bangku halte tempat biasa Dirga menunggu. Ia sendirian dan sepertinya akan menuju kantor, gayanya seperti pegawai bank, yang jelas halte nampak tak seramai seperti hari-hari biasanya.



Dirga mencoba menoleh ke area sekitarnya, tak Ia temukan lelaki pelukis bersifat dingin itu hari ini. Syukurlah pikirnya. Dirga pun mengambil posisi duduk di sebelah wanita kantoran itu, seketika badannya pucat serta perlahan memberikan gerakan tangan memegang lehernya. Seperti orang masuk angin, atau justru salah posisi tidur dengan pandangan menuju Dirga,


“ Mbak gapapa?, Mbak sakit?,” ujar Dirga spontan. Respon wanita itu hanya diam seolah-olah fokus dengan gerakan tangannya ke arah leher sambil menunduk. Dirga menjadi merasa bersalah dengan sorotnya terhadap wanita itu, Ia pun mencoba sedikit bergeser dan melihat ke arah lain.


Bus kuning nomor 12 selalu Dirga tumpangi jika Ia tidak terlambat, wanita itu melambaikan tangan pertanda bus harus berhenti di halte SMA Tunas Mandiri B. Ia dan wanita itu menaikki bus dengan posisi wanita itu yang masuk terlebih dahulu lalu disusul oleh Dirga di belakangnya.


Pukul menunjukkan jam 12 siang, Dirga berhenti tepat di SMA Tunas Mandiri A, benar saja saat itu juga semua siswa-siswa berhamburan keluar gerbang, namun sedikit sekali anak yang menunggu jemputannya di halte Tunas Mandiri A, tiba-tiba pemandangan indah memikat pandangan Dirga untuk kedua kalinya, gadis manis yang Ia temui kemarin kembali datang menuju takdir bertemu dengannya. Gadis itu, sendirian juga menatap Dirga yang duduk di Halte, perlahan langkah kakinya membawa Gadis itu ke arah Dirga.


Hari ini, kardigannya berubah menjadi jaket denim berbahan jeans seperti anak-anak kekinian. Pandangan Dirga tak berhenti, seketika membuatnya menundukkan kepala karena takjub. “ Permisi, kamu Dirga?,” ujar Gadis itu memecah keheningan, setelah dia mengambil tempat duduk tepat di sebelah kiri Dirga, bak adegan film-film remaja yang setiap jedanya teriasi momen romansa.


“Saya? Iya, Saya Dirga Utama,Saya siswa SMA Dharma Bakhti Mbak. Tapi kita kan belum kenalan masa Mbak sudah tahu nama Saya?” dengan sentuhan tangan ke lehernya, Dirga dan pandangannya adalah simbol yang menjadi pertanda bahwa Ia tak sanggup menatap mata gadis itu, sontak Dirga dengan nada heran namun senang dibuatnya oleh gadis itu, karena mengetahui namanya.

“ Hmm, kamu ga inget Saya? Hmmm maksud Saya, Saya tahu nama kamu dari Pak Jehrin. Oh ya kalau begitu perkenalkan Saya Ervinia Sahraniza, panggil saja Ervi, Saya siswa SMA Tunas Mandiri ini, dan tahun ini merupakan tahun terakhir saya belajar disini, salam kenal,” balasnya dengan nada yang jauh lebih mengherankan dari Dirga sebelumnya, dengan senyum ragunya karena di ujung matanya tak ada lipatan pertanda seolah-olah menyembunyikan sesuatu dari balik senyumnya, tapi Dirga yakin Ervi adalah anak baik-baik.

“ Salam kenal juga Ervi, tapi Saya tidak mengenal siapa yang kamu maksud Pak Jehrin itu”
Seketika telunjuk Ervi mengarah ke sebrang jalan, halte SMA Tunas Mandiri B. Lelaki pelukis bersifat sok tahu dan tidak ramah yang Dirga kenal Senin kemarin, ternyata juga dikenal oleh Ervi. Ingin rasanya Dirga hapus suatu siklus yang membuatnya harus mengenal lelaki pelukis jalanan itu.

Selang beberapa menit kemudian, bus datang dan terpaksa menghentikan obrolah Dirga dan Ervi kala itu, ditemani mendung yang menjadi momen yang tepat untuk segera kembali ke rumah bagi Ervi, dan Panti bagi Dirga.

“ Dir, Aku pulang dulu ya. Hati-hati dir,” ucap Ervi sambil menoleh ke arah dirga seraya berdiri dari bangku tempat Ia menunggu bus, sembari melangkah perlahan ke pintu bus yang hampir tertutup itu.

“ Iya vi, Kamu juga. Makasih ya,” Dirga pun berdiri menatap pintu bus yang telah tertutup, namun Ervi menoleh ke arah jendela karena posisi duduknya berada di sudut bus.

“Sama-sama Dir,” Seraya berkata dengan nada samar, dan senyum tipis.

Saat itu juga, Dirga merasa seperti menatap bulan di siang hari. Ada perasaan tak percaya, namun benar adanya terjadi. Do’anya terkabul walau hanya sebentar, tapi baginya penuh makna. Tak beberapa lama, bus itu pergi melintasi pandangan Dirga, lelaki pelukis sebrang jalan masih sibuk dengan palet dan kanvas handalnya. Dirga pun menghampirinya.


“ Pak... ,” ujar Dirga keluh. Sambil menatap goresan kanvas lelaki itu. Gambar wanita yang sepertinya memiliki keturunan warga negara asing, dengan seragam Sma Tunas Mandiri. Yang di bawahnya bertuliskan.

I knew you always here, so i was here with you. Enzy

“ Kenapa? Seneng disapa dan dikenal sama gadis tercantik di SMA Tunas Mandiri?,” ucap pak Jehrin memotong kalimat Dirga yang sebelumnya sudah bisa Ia baca.

“ Iya, Saya berterima kasih atas itu pak, hehe. Tapi bukan itu yang Saya maksud. Saya kan belum pernah mengenalkan siapa diri Saya ke Bapak.,”

“ Tidak perlu terima kasih, sesuai dengan perkataanmu, gadis itu mengenalmu karena takdir tidak pernah melewatkanmu, ya walaupun lewat perantara bapak. Soal kenapa bapak tahu namamu, karena kemarin dompetmu ketinggalan di halte, dan kebetulan gadis itu yang menemukannya setelah kamu pergi. Saat itu, dia tidak melihat orang di halte, jadi dia memanggil bapak untuk memberitahu perihal dompetmu, dan dari gerak-gerikmu bapak lihat kamu tertarik dengan gadis itu, maka dari itu bapak lihat tanda pengenalmu di dompet, dan memperkenalkanmu dengannya,” setelah sekian banyak penjelasan pak Jehrin, Ia menertawakan Dirga dengan mengambil sebuah benda, yakni dompet Dirga yang masih berada di tangan pak Jehrin, dan seketika Ia lempar.

“ Ini, ambil dompetmu! Besok-besok tinggalin aja ya di rumah gadis itu biar kamu makin sumringah!,” ujar pak Jehrin mengejek Dirga dengan gelak tawanya.

Yang dibalas dengan tangkapan Dirga atas dompetnya itu, dan berakhir dengan kata ‘terima kasih untuk kedua kalinya’ yang membuat kaki dirga beralih menuju pantinya. Dan di waktu itu juga, Ia berpikir bahwa, ternyata Pak Jehrin tak seperti apa yang Dirga pikirkan,  Pak Jehrin adalah orang yang baik dan ramah, walaupun banyak hal yang sulit untuk ditebak darinya.

“Dasar bapak-bapak,” balas Dirga sambil berlari dengan raut kesal. Namun harus Dirga akui, bahwa hari ini Ia benar-benar bahagia.




Rabu, 13 Mei 2020

(HALTE SERIES-SATU): Senin, Lelaki Pelukis, dan Gadis di Halte Seberang Jalan


Siapa yang tak mengenal Senin?, hari tersibuk dan terpadat yang dirasakan bagi banyak orang dengan berbagai mobilitasnya. Mulai dari bekerja kantoran, siswa-siswi yang menuntut ilmu, bahkan aktivis kampus yang memulai rapat organisasi serta aksi demonstrasi yang sifatnya turun ke jalan. Sama, pagi terasa cepat pergi bagi Dirga, karena mencoba berusaha mengejar bus terakhir yang melewati halte tempat Ia biasa menunggu bus, benar saja tak Ia temui lagi warga kantoran, para aktivis, bahkan tidak ada lagi  siswa SMA seumurannya menunggu di halte itu, sambil terseok-seok mengejar ketertinggalannya.

“Woi, tunggu bang,” teriaknya dari kejauhan. Kernet bus terakhir itu tak mendengar dan fokus pada halte yang kosong. Bus terus berjalan tanpa menghiraukan Dirga yang berlari melawan keterlambatannya.

 “Sial,”ujarnya. Saat melihat bus berangkat tanpa mengikutsertakan dirinya. Benar saja, Pagi berlalu tanpa lalu lalang yang biasanya Dirga nikmati di halte itu, halte yang bersebrangan dengan SMA Tunas Mandiri, SMA yang mencetak alumni berkelas dan tentunya punya kualitas. Ia pandangi dari kejauhan tak ada siapa-siapa di sana, karena lonceng masuk telah berbunyi sekitar 30 menit yang lalu. Pukul menunjukkan waktu setengah delapan. Dirga terlambat mengejar paginya, sia-sia rasanya Ia perjuangkan.

Pagi itu, Dirga temui seorang lelaki tua dengan jaket denim dan baret krem. Di hadapan lelaki itu, sudah dipasangnya kanvas, di samping tempat duduknya berbagai palet, kuas, cat air dan minyak disusunnya dengan rapi di kursi halte yang sepi itu, pelukis jalanan pikir Dirga.

Ia coba mengambil posisi duduk di sebelah bapak pelukis jalanan yang membuat Dirga penasaran. Udara pagi, Senin yang Dirga rasakan berbeda dengan keterlambatan-keterlambatan sebelumnya yang Ia lakukan, langit mendung dan siap-siap hujan akan datang.

“Kamu ga sekolah?, orang tua kamu susah-susah cari uang tapi justru melihat anaknya malas-malasan, dan memilih bolos hanya untuk sekadar singgah di pinggiran halte kawasan sekolah elit, miris,” ujar lelaki pelukis itu sambil membenarkan peralatan melukisnya.

Dirga hanya diam, namun mendekatkan dirinya perlahan ke arah lelaki tua itu dengan wajahnya yang menantang, dan alis yang mengangkat sebelah kiri saja, pertanda Dirga heran dengan statement yang baru keluar dari mulut seseorang yang belum mengenalnya namun sudah berani menilainya.

“ Apa yang terjadi hari ini, bagi saya adalah takdir pak, dan apa yang bapak nyatakan itu memberi sebuah fakta bahwa itu juga takdir, bila sebenarnya Saya ga punya orang tua lagi pak. Saya anak panti yang ga jauh dari sini, Cahaya Ibu. Pasti bapak tahukan? Letaknya di belakang lorong hijau yang mengarah ke rusun. Takdir jugalah yang membuat Saya yang dari kecil tidak pernah diajarkan untuk meminta-minta, kalo mau sesuatu ya berusaha, perjuangkan. Sama seperti pagi ini, Saya ingin ke sekolah, sudah saya perjuangkan. Namun justru terlambat, dan justru bertemu dengan lelaki tua yang hebat menilai orang lain tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi,” ucap Dirga yang melihat ke arah depan jalan tanpa bertatapan dengan lelaki itu, mereka berkomunikasi tanpa saling melihat ekspresi satu sama lain, pendekatan yang kurang berkesan bagi Dirga.

Lelaki itu tak menggubris, dan menunjukkan senyum remeh pada Dirga. Dirga menatapnya dan dibalas dengan tatapan tajam dari lelaki itu, siratan tatapan itu tak berarti bagi seorang Dirga.
Hujan datang mengguyur tiap permukaan jalan, bau petrichor hadir tanpa permisi. Dirga harus rela dijebak oleh riuh sang hujan ditemani lelaki pelukis tua yang bersikap dingin. Seketika kanvas milik lelaki pelukis itu mulai terisi dengan goresan-goresan cat miliknya. Mawar merah dengan ukuran memenuhi kanvas putihnya dengan ukuran yang cukup besar, berhasil mencuri perhatian dirga. Bisa-bisanya lelaki tua ini melukis di pinggir halte saat hujan datang, pikir Dirga.

Come, and i heard your whisper. Enzy!. Monday. 4th of April 1999 . Kalimat itu tertulis di bagian bawah sudut kanan mawar merah milik lelaki itu. Seketika lelaki itu menyayat sedikit kulit di area telunjuknya hingga mengeluarkan darah. Aneh, tiba-tiba mata Dirga terbelalak melihat tindakan lelaki tua itu yang memberikan sentuhan warna merah darah miliknya ke lukisan mawar merah itu.
Dirga tak bersuara namun tetap memperhatikan tiap gerak-geriknya. Hujan berhenti tepat pukul 12 siang, lama sekali Dirga menunggu di halte yang luas namun terasa sempit karena ditemani lelaki tua yang sok tahu dan aneh.

“ KRING.... ,” lonceng SMA Tunas Mandiri berbunyi, pertanda memang waktu belajar berakhir. Lelaki itu pun pergi meninggalkan Dirga sendirian, namun sebelum pergi Ia menaburkan mawar merah di sekitar jalan, beberapa kelopak saja tanpa tangkai. Sungguh perlakuan yang tak jelas pikir Dirga.





Satu per satu murid Sma Tunas mandiri pulang ke tujuan mereka. Mungkin bisa ke rumah, bimbingan belajar, atau sekadar menghabiskan uang ke mall. Entahlah, yang jelas Dirga harus kembali ke panti untuk membantu mengurus adik-adiknya. Saat Dirga berjalan menuju kediamannya, Ia menoleh ke seberang jalan, seorang gadis duduk sendirian, dengan gestur melambaikan tangan pada karibnya sebagai tanda pertemuan berakhir, gadis itu memiliki rambut panjang menyentuh bahu, wajah putih, hidung mancung, bibir tipis, dengan kacamata yang menambah manis wajahnya, serta menggunakan kardigan hijau toska yang menutupi seragam sekolahnya, SMA Tunas Mandiri, seolah tak asing Dirga melihatnya.

Gadis itu berhasil mencuri perhatian Dirga. Dirga pasati gadis itu dengan rasa penasaran, saat menunggu bus yang lewat di halte seberang jalan. Gadis itu menembak pandangan ke arah Dirga, sontak Dirga melihat ke lain arah. Lebih tepatnya malu dibuatnya. Yang pada akhirnya membawa Dirga menuju kediamannya dengan senyum sumringah miliknya. Lagi-lagi, ini adalah takdir yang mengiringnya pada pertemuan lelaki pelukis tua yang dingin dan gadis manis Sma Tunas Mandiri yang sendirian di halte seberang jalan.