Cahaya ibu, panti itu sudah lama berdiri. Mungkin telah mencapai setengah
abad umurnya, dengan bertambahnya anak-anak di setiap tahun bahkan bulannya,
entah apa yang membuat ‘mereka’, para orang tua rela meninggalkan anak-anaknya
di tempat ini, bukankah setiap anak terlahir dari sebuah harapan? Bukankah anak
adalah cara dan jalan dalam menjemput rezeki?, bukankah hadirnya mereka karena suci
dalam fitrah?, dan tentunya, anak-anak itu menginginkan orang tua mereka
menemani, dalam melewati garis takdir yang akan mereka lalui.
Tak sedikit dari para orang tua yang meninggalkan anaknya dengan meletakkan
keranjang bayi, bahkan terbujur kaku dengan ‘bedongannya’ di depan pintu panti
tanpa permisi, tanpa diperkenankan pengurus panti mengetahui, siapakah orang
tua yang tega menelantarkan anaknya dalam keadaan dingin, terbalut selembar
kain tipis, dan di tempat yang anak itu
tidak ia kenali?.
Sama halnya seperti Dirga, Ia tak mengetahui siapa kedua orang tuanya. Ia
tak paham bahwa dunia begitu berat saat Ia hadapi sendirian, yang kondisinya
jauh lebih parah dari bayi-bayi yang ditelantarkan di depan pintu panti,
membuat iba bagi orang yang melihatnya. Dirga kecil lahir tanpa harapan, seolah-olah
kehadirannya tak diinginkan, saat itu juga Ia dibiarkan tergeletak dengan tali
pusar yang belum terputus, serta bukan kain tipis yang membalut tubuhnya,
melainkan darah segar yang memeluknya di sepanjang malam, di depan Panti Cahaya
Ibu, Ia tak menangis, Dirga kecil justru lebih memilih diam, memendam setiap
perkara yang ke depannya akan Ia lewati sendirian, mungkin pada saat itu juga,
Ia diharuskan untuk menjadi bibit yang kuat dan tegar, agar bisa tumbuh menjadi
pribadi yang lebih baik dan terbiasa dengan perkara dunia, yang dipikirnya hanya
sekadar menjadi tempat singgah untuk menunggu sebuah kematian.
Hawa malam yang dingin, mengantarkan Dirga menuju balkon panti, sunyi dan sepi
rasanya nikmat sekali untuk dirasakan, terkadang bagi penghuni panti sayang sekali
untuk melewati momen ini. Malam menunjukkan pukul sepuluh, namun masih banyak
anak yang bermain di atas balkon, dengan sigap Dirga menghampiri. Di ujung
balkon itu ada sebuah bangku yang dibuat anak-anak untuk duduk bersantai,
bercengkrama, kadang mereka juga sering mengadakan kegiatan belajar bersama. Dinding-dindingnya
dihiasi lukisan dari tangan anak-anak yang tak diharapkan hadir itu, indah
namun tersembunyi. Mereka yang berandai ingin menjadi seniman, ilmuan,
dokter,guru, perawat, dan profesi- profesi dambaan setiap orang, hanya bisa
mereka tulis di dinding-dinding itu, entah kapan akan terwujud, yang jelas kata
adalah do’a bagi mereka yang menghasilkan tindakan, menuju mimpi yang besar.
Satu per satu anak-anak turun untuk beristirahat saat Dirga datang, jam tidur
panti memang dibuat seefisien dan seefektif mungkin, agar anak-anak tidak
bangun kesiangan. Seketika jari Dirga meraba setiap tanda tulisan di dinding
itu, di sudut kanan bawahnya tertulis “ Aku Ingin jadi orang kaya, Dirga 2005”
baca Dirga dalam hati, senyum keluh miliknya membawa memori masa kecilnya, yang
pada saat itu, Ia berpikir bahwa dengan menjadi kaya, Ia bisa mengajak teman
pantinya untuk tinggal bersama, makan enak setiap hari tanpa takut dan khawatir
kelaparan, dan yang terpenting baginya adalah, dengan menjadi kaya, mungkin ibu
serta ayahnya bisa kembali menemuinya dan hidup bahagia untuk menghabiskan
sisa-sisa waktunya.
Perlahan, Dirga mengambil posisi di bangku buatan milik anak-anak panti.
Langit malam terlihat jelas menampakkan cahaya bulan diiringi bintang-bintang,
yang membuatnya hanyut dalam nestapa yang kerap kali tak pernah Ia inginkan.
“ Ibu..., Ayah... seandainya jika kalian disini, akan Aku ceritakan setiap
perjalananku ke sekolah, bagaimana Aku mencari nafkah, menjaga adik-adikku di
panti, bahkan saat ini Aku menyukai seseorang , apakah kalian tahu itu? haha...
Aku bahagia sekali disini, tapi apalah daya jika kebahagiaan itu tidak kubagi
kepada kalian, pasti sangat indah bukan? hmm semoga suatu saat nanti, kita
dipertemukan di dunia ini, jikalau waktu telah memutus segala harapanku untuk
bisa bersama dengan kalian di dunia ini, semoga di alam lain kita bisa hidup
dan berbagi kebahagiaan yang sesungguhnya, dalam kekekalan dan keabadian,
aammiinn,” ucap Dirga pada bintang dan bulan yang menemaninya dalam gelap
malam, dan kali ini malam terlalu baik untuk hadir bersama dengannya, diiringi tetesan
airmata yang jatuh membasahi setiap permukaan dan pori-pori di pipi tulus
seorang anak, yang mengharapkan
kehadiran orang tua di sisinya.
Malam berlarut begitu cepat, hingga menunjukkan jam tiga dini hari. Dirga
yang tak menyadari terlelap di balkon, tiba-tiba terbangun dan menuju kamarnya
di sudut kiri, lantai bawah yang letaknya berada paling belakang, sontak membawanya
kembali ke kamar solo miliknya itu, pertanda sebagai tempat anak tertua yang masih
mau berada di panti dan menjaga adik-adiknya. Di koridor panti Ia menemukan
sebuah ruangan yang cukup lusuh yang dipenuhi lukisan seukuran 30 cm dan telah
dipajang, di sana terdapat beberapa lukisan seperti gambar pendiri Panti Cahaya
Ibu di tahun 1955, para penghuni panti yang meninggal dari usia yang masih muda,
hingga potret remaja bahkan dewasa, tepat di bagian tengah bawah sebuah lukisan
gadis blasteran Belanda, dengan tatapan yang kosong sambil memegang
bunga mawar berwarna merah, sungguh cantik, dan dilengkapi pakaian sekolah SMA
Tunas Mandiri menambah kesan vintage bagi siapapun yang melihatnya,
termasuk dengan Dirga yang familiar dengan wajah ITU, karena seing Ia temui dalam lukisan sang lelaki
pelukis jalanan. Pak Jehrin, sosok yang sering Ia lihat dan sering pula
menghilang, dan di bawah lukisan itu tertulis “ Henzie Arabella Annemie,
1999”.
Hal aneh lainnya yang Dirga temukan yakni, sebuah kanvas tertutup kain
putih yang masih terletak di tempat lukisan, dengan rapi menutup segala
permukaan dan sudut lukisan, ukurannya pun jauh lebih besar, entah itu lukisan
atau hanya kanvas kosong. Tanpa ragu perlahan Dirga membuka bagian bawah kain
putih itu.
“ Kak, ngapain disini? Ini sudah adzan yuk keluar!,” teriak Irham sambil
menggenggam tangan kiri Dirga, yang tiba-tiba memecah keheningan dan fokus
Dirga, dan hampir membuatnya terkejut. Irham adalah anak panti yang paling
dekat dengan Dirga, usianya sekitar 10 tahun, Irham dinilai sebagai sosok anak
benar-benar peduli dan religius.
“ Astaga ngejutin aja Kamu dek, yaudah. Yuk kita keluar!, Kakak lupa dan ga
sadar kalau sudah adzan,” jawab Dirga, seketika lukisan yang ditutup kain itu
pun ditinggalkan oleh Dirga, ruangan itu langsung dikunci oleh Irham agar orang
lain tidak bisa masuk dan mengakses apa yang ada di ruangan itu, sebagai amanah
dari Ibunya, bu Ningsih. Ya Irham adalah anak bu Ningsih, sang pengurus panti.
Cerita ini sangat bagus. Untaian kata-kata dirangkai dengan sangat apik sehingga menciptakan kesan yang kuat, serta memaku pembaca untuk mengikuti setiap alur cerita yang disajikan. Semangat buat nur. Ditunggu kelanjutan ceritanya :)
BalasHapusMakasih bang edwin, smga kedepanny doain aku ttp konsisten ya :)
BalasHapus